Menteri Agama Lukman Pernah Kembalikan Gratifikasi Berlian Senilai Rp 4 Miliar
Mastuki mengatakan, sebagai penyelenggara negara, Menag sadar penuh adanya larangan menerima gratifikasi.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Nama Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin belakangan disebut-sebut diduga terlibat suap terkait jual beli jabatan.
Terkait hal tersebut, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Agama, Mastuki menegaskan komitmen antikorupsi Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di tengah tudingan adanya kasus penentuan jabatan di Kemenag yang melibatkan anggota DPR Romahurmuziy dan mantan Kepala Kanwil Kemenag Jatim Haris Hasanuddin.
”Teman-teman media bisa cek rekam jejak Menag, beliau adalah pejabat publik dengan pengembalian gratifikasi terbesar kepada KPK setelah Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla,” ujar Mastuki dalam pernyataannya kepada Tribunnews, Selasa(4/6/2019).
Dalam pemberitaan di media, pada peringatan Hari Anti-Korupsi Sedunia 2017, Ketua KPK Agus Rahardjo memang menyebut tiga sosok tersebut sebagai perorangan dengan dedikasi tinggi dalam pengembalian gratifikasi kepada negara.
”Perorangan yang dapat dedikasi tinggi pertama adalah Presiden RI, kedua Wapres, dan ketiga adalah Menteri Agama (Lukman Hakim Saifuddin),” kata Agus saat Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) di Jakarta, Senin (11/12/2017) silam.
Mastuki mengatakan, sebagai penyelenggara negara, Menag sadar penuh adanya larangan menerima gratifikasi.
Baca: Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin Bantah Terima Rp 70 Juta Dari Mantan Kakanwil Kemenag Jatim
Baca: Jumlah Penumpang Pesawat Turun 28,5 Persen Sampai H-1 Lebaran
”Pak Lukman mengembalikan gratifikasi ke KPK, semuanya ada bukti penerimaan pengembaliannya. Bahkan pernah mengembalikan perhiasan berlian hampir Rp 4 miliar. Beliau selalu menolak yang bukan haknya. Sehingga kemudian KPK menyebut Pak Lukman sebagai pejabat yang patuh pelaporan gratifikasi. Itu fakta,” ujarnya.
”Jadi, logikanya, beliau yang sudah mengembalikan gratifikasi dalam jumlah besar, miliaran rupiah lho, masak mau mengorbankan reputasi dan integritasnya hanya untuk Rp 10 juta seperti dituduhkan Pak Haris,” tambah Mastuki.
Terkait pemberian Kakanwil Kemenag Jatim Haris Hasanuddin sebesar Rp 10 juta pada 9 Maret 2019 di Jombang, Mastuki kembali menegaskan bahwa uang itu tidak diberikan kepada Menag.
”Kenapa tidak diberikan ke Menag? Karena Haris tahu pasti Menag menolak. Maka oleh Haris diberikan ke ajudan. Ajudan baru lapor ke Menag setelah sampai Jakarta. Dan langsung diminta mengembalikan,” papar Mastuki.
Ajudan Menag, lanjut Mastuki, tidak pernah bisa bertemu dengan Haris, sehingga uang masih disimpan ajudan dan baru dilaporkan kembali kepada Menag pada 22 Maret 2019.
”Akhirnya, uang Rp 10 juta itu dikembalikan ke KPK pada 26 Maret 2019 sebagai komitmen antikorupsi, seperti yang telah bertahun-tahun dilakukan Menag setiap menerima yang bukan haknya,” jelasnya.
Rentang waktu pemberian ke ajudan pada 9 Maret hingga pengembalian 26 Maret adalah 17 hari kalender atau 12 hari kerja, masih dalam batas Peraturan KPK Nomor 02/2014 yang mensyaratkan pengembalian gratifikasi maksimal 30 hari kerja.
Mastuki juga menyatakan, Menag tidak pernah menerima Rp 50 juta dari Haris seperti yang dituduhkan terjadi di Surabaya pada 1 Maret 2019.
”Saat ke Surabaya, 1 Maret 2019, Menag, ajudan, maupun tim protokol yang mendampingi tidak pernah menerima pemberian Haris. Ajudan Menag hanya satu kali menerima pemberian dari Haris yaitu Rp 10 juta di Jombang pada 9 Maret tanpa seizin dan sepengetahuan Menag, dan itu sudah dikembalikan ke KPK,” ujarnya.(Willy Widianto)