Jadi Saksi Kasus PLTU Riau-1 untuk Sofyan Basir, Dirut Pertamina Ditanya soal RUPTL PLN
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati.
Nicke diperiksa tim penyidik KPK sebagai saksi terkait kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang Riau-1 untuk tersangka mantan Dirut PT PLN Sofyan Basir.
Dalam pemeriksaan hari ini, tim penyidik KPK mencecar Nicke terkait Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN. Terutama berkaitan dengan proyek PLTU Riau-1. Saat proyek ini direncanakan Nicke merupakan direktur perencanaan PT PLN.
"Didalami informasi terkait posisi saksi di PLN sebelumnya, khususnya Proyek PLTU Riau-1 dan RUPTL 2016-2017," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin (10/6/2019).
Dikonfirmasi terpisah, Nicke Widyawati mengakui dicecar mengenai kontrak kerja sama proyek PLTU Riau-1. Salah satunya terkait RUPTL PT PLN.
"Iya (ditanya penyidik tentang RUPTL PLN). Enggak banyak berubah," kata Nicke serelah diperiksa penyidik di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin (10/6/2019).
Disinggung perannya selaku direktur perencanaan korporat PLN terkait RUPTL PLN, Nicke tak banyak bicara. Nicke hanya menyebut pertanyaan yang dilontarkan penyidik masih sama dengan pemeriksaan sebelumnya.
"Seputar tupoksi (tugas pokok dan fungsi) sebagai Direktur Perencanaan," kata Nicke.
Diketahui, sebelum menjabat Dirut Pertamina, Nicke pernah mengemban sejumlah posisi strategis di PT PLN, seperti Direktur Niaga dan Managemen Resiko, Direktur Perencanaan Korporat, dan Direktur Pengadaan Strategis 1.
Bahkan, nama Nicke sempat mencuat dalam persidangan perkara yang telah menjerat mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar Eni Maulani Saragih, mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham, dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo.
Dalam persidangan terhadap Johannes Kotjo dan Eni misalnya, Nicke yang saat itu menjabat Direktur Perencanaan PT PLN diketahui pernah menghadiri pertemuan pertama membahas proyek PLTU Riau-1 di Hotel Fairmont Jakarta.
Pertemuan itu turut dihadiri oleh Eni, Sofyan, Kotjo dan Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN, Supangkat Iwan Santoso. Selain itu, Nicke bersama Supangkat Iwan juga pernah dipanggil ke ruangan Sofyan Basir dan diperkenalkan dengan perwakilan China Huadian Engineering Company (CHEC) yang menjadi investor dalam proyek senilai USD 900 juta tersebut.
Dalam perkara proyek PLTU Riau-1 yang menelan biaya USD 900 juta ini, KPK sudah menetapkan Sofyan Basir sebagai tersangka keempat menyusul pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham.
Sofyan diduga menerima janji fee proyek dengan nilai yang sama dengan Eni Saragih dan Idrus Marham dari salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd Johannes Kotjo.
KPK menduga Sofyan Basir berperan aktif memerintahkan salah satu direktur di PLN untuk segera merealisasikan power purchase agreement (PPA) antara PT PLN, Blackgold Natural Resources Ltd. dan investor China Huadian Engineering Co. Ltd. (CHEC).
Tak hanya itu, Sofyan juga diduga meminta salah satu direkturnya untuk berhubungan langsung dengan Eni Saragih dan Johannes Kotjo.
KPK juga menyangka Sofyan meminta direktur di PLN tersebut untuk memonitor terkait proyek tersebut lantaran ada keluhan dari Kotjo tentang lamanya penentuan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
Baca: Tak Lagi Bersikap Tinggi, Jorge Lorenzo: Dulu dan Sekarang, Saya Bukan Dewa
Baca: Jadwal Tambahan KA Sembrani Malam Lebaran Dioperasikan hingga 17 Juni, Tiketnya Dijual Rp 750 Ribu
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.