Soal Penetapan Tersangka Sjamsul Nursalim, Eko Sebut KPK ''Mengambil Alih'' Peran BPK
Dokumen itu pada intinya menjamin untuk tidak mengambil tindakan hukum apapun terhadap SN dan afiliasinya sehubungan dengan BLBI
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat bisnis dan keuangan Eko B. Supriyanto mengkritik KPK dan menilai lembaga tersebut terkesan telah mengambil alih peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Hal itu diungkapkan Eko menanggapi pengumuman KPK Senin petang yang menetapkan pengusaha besar Sjamsul Nursalim (SN) sebagai tersangka terkait penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) 20 tahun yang lalu. SN adalah pemegang saham (PS) pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), salah satu penerima BLBI.
Pengamat dari InfoBank Institute itu menunjukkkan kenyataan bahwa pada 25 Mei 1999, sehubungan telah dipenuhinya segala kewajiban SN atas BLBI dan hal-hal terkait lainnya melalui perjanjian Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Pemerintah menerbitkan Surat Release and Discharge (Pembebasan & Pelepasan) dan Akta Letter of Statement kepada SN.
Baca: BESOK Selasa, Jadwal Timnas Indonesia vs Yordania, Live Indosiar Pukul 19.30 WIB
Baca: Jansen Sitindaon Minta BPN Hadirkan Prof Laode di MK, Tantang Bantah KPU Pakai Data 62 Persen
Baca: Jelang Sidang Sengketa Pilpres 2019, TKN Jokowi-Maruf Siapkan 33 Pengacara, Siapa Saja?
Dokumen itu pada intinya menjamin untuk tidak mengambil tindakan hukum apapun terhadap SN dan afiliasinya sehubungan dengan BLBI dan hal terkait lainnya berdasarkan MSAA.
“Janji ini telah berlangsung lebih 20 tahun, namun Senin petang (10 Juni), KPK menjadikan SN dan istrinya tersangka dalam kasus yang terkait BLBI tersebut. Tindakan KPK itu jelas bertentangan dengan janji dan komitmen pemerintah mengenai kepastian hukum di Indonesia”, ujar Eko seraya menambahkan bahwa tindakan KPK ini berpotensi menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor yang bermaksud untuk berinvestasi di Indonesia.
Eko Supriyanto juga menunjukkan bahwa tindakan KPK yang menyatakan SN belum menyelesaikan kewajibannya atas BLBI semata-mata didasarkan pada Laporan Audit Investigasi BPK 2017 yang intinya menyimpulkan adanya kerugian negara akibat penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) berkenaan dengan misrepresentasi oleh SN atas nilai pinjaman BDNI kepada petambak Dipasena.
Dokumen inilah yang juga digunakan KPK untuk menjerat mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT).
Namun, Eko mengingatkan, KPK hingga saat ini tidak pernah menyampaikan kebenaran yang sesungguhnya mengenai laporan ini kepada publik maupun pengadilan, bahwa sebenarnya Laporan Audit BPK 2017 itu dibuat oleh BPK atas arahan sepihak KPK.
“Laporannya itu semata-mata didasarkan pada data/informasi sepihak yang disodorkan KPK tanpa terlebih dahulu diverifikasi ataupun diuji kebenarannya. Terperiksa sama sekali tidak dilibatkan. Bagaimana bisa seperti ini?".
Ia melanjutkan, sampai sekarang BPK belum juga menjelaskan mengapa bisa terjadi kontroversi antara kesimpulan Laporan Audit Investigasi BPK 2017 yang bertolak belakang dengan kesimpulan laporan auditnya sendiri pada tahun 2002 dan 2006, dimana kedua auditnya tersebut telah mengkonfirmasi bahwa SN telah memenuhi seluruh kewajibannya dalam perjanjian MSAA (atau Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham-PKPS).
“Belum ada penjelasan dan klarifikasi dari KPK dan BPK mengenai laporan laporan audit yang saling bertentangan tersebut”, kata Eko.
Seperti diberitakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah resmi menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Sjamsul diduga sebagai pihak yang diperkaya Rp 4,58 triliun dalam kasus ini.
Sjamsul dan Itjih dijerat dengan pasal Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
KPK sendiri sudah memanggil Sjamsul dan Itjih sebanyak tiga kali pada 2018 silam. Namun pasangan suami istri tidak memenuhi panggilan penyidik KPK.