KPK Bisa Terapkan UN Convention Against Corruption untuk Sjamsul Nursalim
KPK telah berulang kali memberikan surat panggilan pemeriksaan terhadap keduanya.
Penulis: Ilham F Maulana
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa saja menjalin kerja sama internasional untuk melakukan pemeriksaan terhadap pasangan suami-istri tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.
"Jika dibutuhkan kerjasama internasional kami bisa menerapkan UN (United Nations) Convention against Corruption ataupun kerja sama dengan unit-unit lain atau instansi lain di negara-negara lain, kalau dibutuhkan kerjasama internasional," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (11/6/2019).
Diketahui, Sjamsul dan Itjih saat ini sudah menetap di Singapura dalam waktu yang cukup lama.
KPK telah berulang kali memberikan surat panggilan pemeriksaan terhadap keduanya.
Namun, keduanya mangkir alias tidak pernah hadir memenuhi panggilan pemeriksaan KPK.
Baca: Santunan Dari KPU Belum Cair, Ali Batal Gelar Tahlilan Meninggalnya Ahmad Farhan
Baca: Luis Milla Dikabarkan Jadi Kandidat Pelatih Baru Klub Liga Spanyol
Baca: Densus 88 Tangkap 4 Orang Terduga Teroris
Febri mengatakan, KPK saat ini juga sedang konsen memberikan dukungan terhadap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tengah digugat oleh pihak Sjamsul Nursalim. Menurut Febri, bantuan tersebut diberikan karena BPK merupakan pihak yang bekerja sama dengan KPK untuk mengusut kasus ini.
"Kenapa kami memberikan dukungan penuh pada BPK, karena, pertama sejak awal penanganan kasus BLBI ini merupakan kerja sama KPK dan BPK khususnya untuk perhitungan kerugian keuangan negara," kata Febri.
"Sampai kemudian Hakim juga menegaskan apa yang dihitung oleh BPK tersebut sebagai kerugian keuangan negara yang di sana disebutkan Sjamsul Nursalim diduga diperkaya dalam kasus ini, sehingga kami perlu memberikan dukungan penuh pada BPK dan auditornya," lanjutnya.
Sebagaimana diketahui, KPK telah menetapkan pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka dalam kasus korupsi terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang telah menjerat mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.
Kasus ini bermula saat BDNI mendapat bantuan dana BLBI sebesar Rp 37 triliun. BDNI juga menerima BLBI sebesar Rp 5,4 triliun dalam periode 1999-2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet.
Namun BPPN menduga BDNI menyalahgunakan dana bantuan itu dan menetapkan BDNI sebagai bank yang melanggar hukum.
Sementara Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjadi Kepala BPPN sejak 22 April 2002 malah menandatangani surat yang menjelaskan bahwa Sjamsul sudah menuntaskan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Syafruddin dinilai terbukti menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira.
Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang dijamin Sjamsul Nursalim dalam PKPS.
Namun setelah dilakukan penghitungan, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp 220 miliar. Meski demikian, sisa utang BDNI sebesar Rp 4,58 triliun belum dibayarkan.
Perbuatan Syafruddin dinilai membuat Sjamsul mendapat keuntungan sebesar Rp 4,58 triliun. Hal tersebut pula yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara.
Syafruddin sudah menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia dinyatakan bersalah dan dihukum 13 tahun penjara.
Hukumannya diperberat di tahap banding menjadi 15 tahun penjara dan sedang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.