Hasil Survei: Masyarakat Takut Bicara Politik Setelah Kerusuhan 22 Mei
Dua indikator di antaranya yaitu, muncul ketakutan masyarakat terhadap penangkapan semena-mena oleh penegak hukum.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting ( SMRC) menunjukkan, terjadi penurunan tren perbaikan demokrasi, khususnya pasca kerusuhan yang terjadi pada 21 dan 22 Mei 2019.
Dua indikator di antaranya yaitu, muncul ketakutan masyarakat terhadap penangkapan semena-mena oleh penegak hukum.
Kedua, muncul rasa takut masyarakat saat berbicara tentang politik.
"Secara umum, rakyat menilai positif kondisi demokrasi Indonesia setelah 20 tahun. Tetapi, Ada indikasi demokrasi mengalami pelemahan pasca peristiwa kerusuhan 21 dan 22 Mei," ujar peneliti SMRC Sirajuddin Abbas dalam pemaparan survei di Kantor SMRC, Jakarta, Minggu (16/6/2019).
Dalam survei, SMRC menanyakan responden mengenai ketakutan masyarakat saat berbicara tentang politik pasca kerusuhan 21 dan 22 Mei 2019.
Hasilnya, 8 persen menyatakan selalu takut bicara politik.
Kemudian, 35 persen responden menyatakan sering merasa takut. Jika ditotal, maka terdapat 43 persen responden yang takut bicara politik pasca kerusuhan.
Berdasarkan survei, tren ketakutan itu mengalami peningkatan. Pasca pemilu 2009, ada 16 persen responden.
Kemudian, pasca pemilu 2014, terdapat 17 persen. Sementara, pasca pemilu dan kerusuhan 21-22 Mei 2019, terdapat 43 persen responden yang merasa takut.
Begitu juga mengenai ketakutan masyarakat terhadap isu penangkapan semena-mena oleh penegak hukum.
SMRC menanyakan responden mengenai ketakutan masyarakat pasca kerusuhan 21 dan 22 Mei 2019.
Hasilnya, 7 persen menyatakan selalu takut terhadap penangkapan.
Kemudian, 31 persen responden menyatakan sering merasa takut. Jika ditotal, maka terdapat 38 persen responden yang takut ditangkap secara semena-mena pasca kerusuhan.
Berdasarkan survei, pasca pemilu 2009, ada 24 persen responden yang merasa takut. Kemudian, pasca pemilu 2014, terdapat 24 persen.