Bagaimana Jika Gerindra Gabung Koalisi Pemerintah? Ini Dampaknya bagi Demokrasi Tanpa Oposisi
"Lebih baik Gerindra puasa 5 tahun lagi, kita hakul yakin Gerindra punya momentum emas, punya kans memenangkan pemilu 2024," katanya
Penulis: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Isu terkait peluang partai politik dalam bersikap sebagai oposisi atau masuk koalisi pendukung Jokowi-Maruf masih hangat diperbincangkan.
Bagaimana jika partai politik yang berada di kubu Prabowo-Sandiaga bergabung dengan koalisi pendukung Jokowi-Maruf?
Baca: Sarankan Gerindra, PAN dan PKS Tetap Oposisi, Politikus NasDem : Baik Bagi Demokrasi
Menurut analis politik Pangi Syarwi Chaniago, kelompok oposisi dalam sistem demokrasi memegang peranan yang sangat penting untuk mewujudkan mekanisme ‘checks and balances’.
Mekanisme ini dibutuhkan untuk mewujudkan tata kelola dan penyelenggaraan pemerintahan yang terkontrol sehingga pemerintahan yang sedang berkuasa tidak keluar "jalur" dan bertindak sewenang-wenang.
Oleh karena itu, kelompok oposisi juga harus diperkuat untuk memaksimalkan perannya sebagai penyeimbang kekuasaan.
"Mekanisme “checks and balances” harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri," kata Pangi dalam keterangannya, Senin (1/7/2019).
Berkuasa atau berada dalam barisan oposisi menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting ini adalah satu paket.
Tujuannya, tetap sama yakni memastikan negara berjalan sesuai konstitusi dan meminimalisir terjadinya penyimpangan dan penyelewengan kekuasaan.
Menurut Pangi, pandangan sinis terhadap oposisi sebagai kelompok "penggangu" harus diluruskan, karena pemahaman yang sangat keliru dan fatal dalam berfikir.
"Memandang sinis terhadap oposisi dan upaya mengkebiri kelompok ini sebagai "penggangu" stabilitas negara akan mendorong negara kejurang tirani mayoritas dan otoritarianisme," kata Pangi.
Oleh karena itu, lanjut Pangi, adanya upaya ‘rekomposisi’ koalisi pasca pilpres adalah bentuk ketidak-percayaan diri koalisi pemenang pilpres terhadap kekuatan politiknya sendiri.
Di sisi lain juga sebagai upaya membungkam kelompok oposi untuk melumpuhkan daya kritisnya terhadap kekuasaan sebagaimana yang telah dilakukan pada periode sebelumnya.
"Apakah belum cukup dukungan partai di parlemen sekarang terhadap pemerintahan Jokowi? Kalau kita perhatikan kekuatan politik dan dukungan partai di parlemen terhadap pemerintahan Jokowi, sudah lebih dari cukup yakni 60 persen," katanya.
Intrik politik semacam ini, tutur Pangi, semestinya bisa dihindari dengan upaya membentuk koalisi permanen yang tidak mudah goyah hanya karena godaan pembagian “kue kekuasaan” semata, meski terkadang kue yang dibagi-bagi itu sisa kekuasaan yang sudah basi.