BPIP Ajak Pelajar Indonesia di Melbourne Selalu Berpikir Terbuka dan Berprestasi
BPIP menyampaikan pembekalan kepada pelajar dan mahasiswa Indonesia peserta Konperensi Internasional Pelajar Indonesia (KIPI) di Universitas Monash.
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, MELBOURNE - Plt Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasika (BPIP) Hariyono menyampaikan pembekalan kepada pelajar dan mahasiswa Indonesia peserta Konferensi Internasional Pelajar Indonesia (KIPI) di Universitas Monash, Melbourne pada 5 Juli 2019.
Paparan berjudul "Memaknai Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dalam Menghadapi Bonus Demografi di Indonesia" yang disampaikan Hariyono ini bertujuan untuk membekali para pelajar dan mahasiwa Indonesia yang sedang belajar di Australia mengenai materi ideologi Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara.
"Pembekalan ini juga dimaksudkan sebagai bagian dari upaya membangun dan memperkuat semangat kebangsaan Indonesia," ucap Hariyono dalam keterangannya, Sabtu (6/7/2019).
Selama acara KIPI 2019 yang berlangsung pada 3-7 Juli 2019, selain dari BPIP, hadir pula Wali Kota Bogor Bima Arya sebagai pembicara sekaligus mantan pengurus PPIA, peneliti Ariel Heriyanto, Atase Perdagangan dan Atase Pendidikan pada KBRI Canberra.
Apresiasi tinggi layak dilayangkan kepada PPIA yang memandang penting pembekalan ideologi Pancasila bagi pelajar dan mahasiswa di luar negeri.
Karena pembekalan ideologi harus terus diberikan secara berkala dan periodik sehingga pelajar dan mahasiswa Indonesia di rantau senantiasa paham akan ideologi Pancasila, cinta tanah air dan tidak lupa akan kewajibannya untuk bersama-sama membangun dan memakmurkan Indonesia sesuai ilmu yang mereka pelajari di luar negeri.
"Kita mengetahui bahwa salah satu karakter generasi milenial adalah akrab dengan komunikasi, media dan teknologi digital. Mereka ini mudah untuk memperoleh informasi. Namun kemudahan mendapatkan informasi seringkali tidak lantas diikuti dengan kebiasaan cek dan ricek kebenaran dari informasi tersebut," ungkap Hariyono.
"Akibatnya, di era post truth atau pasca-kebenaran yang popular sejak 2016, kebenaran informasi bukan didasarkan pada data/informasi yang faktual, namun lebih didasarkan pada intensitas penyampaian informasi yang disampaikan secara berulang-ulang di ruang terbuka. Karena dikirimkan berulang-ulang, maka suatu informasi lama kelamaan bisa dianggap menjadi kebenaran. Akibatnya pula mereka tidak bisa membedakan informasi hoax atau tidak," tambah Hariyono.
Karena itu pelajar Indonesia yang sedang belajar di luar negeri seperti anggota Persatuan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) hendaknya bersikap kritis dan terbuka (inklusif) terhadap suatu permasalahan.
Para pelajar Indonesia yang sedang belajar di luar negeri ini hendaknya mau menempatkan dirinya ke dalam cara pandang orang/kelompok lain dalam melihat dan memahami suatu permasalahan, baik pada saat sedang belajar di luar negeri atau setelah kembali ke tanah air.
"Jangan setelah kembali ke tanah air malah turut serta berpandanghan eksklusif, bersikap anti toleran dan menolak pluralisme," tegas Hariyono.
Hariyono lantas mencontohkan bagaimana masyarakat Australia yang secara historis terbentuk dari beragam masyarakat yang berbeda justru dapat menerima keberagaman dan hidup berdampingan satu sama lain dengan damai berdasarkan pandangan walau berbeda tapi satu.
Baca: Usulan Calon Menteri dari PKB Tak Hanya Kader Tapi Juga Non Kader
Baca: Mungkinkah Sandiaga Kembali Jadi Wagub DKI? Ada Spanduk Besar #2020SandiUnoSumbar1 di Padang
Pandangan ini sesungguhnya sejalan dengan pandangan bangsa Indonesia yang berbhineka tunggal ika (walau berbeda-beda tetapi tetap satu) yang sudah ada ribuan tahun lalu, namun kemudian mulai terlupakan karena masuknya pengaruh ideologi yang akan menggantikan Pancasila.