Senyum Semringah Syafruddin Arsyad Tumenggung, Nelson Mandela Jadi Inspirasi
Kurang lebih sudah 1 tahun 7 bulan Syafruddin menginap setelah hari ini, Selasa, 9 Juli 2019, dirinya bebas
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) Syafruddin Arsyad Tumenggung meninggalkan Rumah Tahanan (Rutan) K4 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia mendekam di rutan yang berlokasi di belakang Gedung Merah Putih KPK itu sejak 21 Desember 2017 silam.
Baca: Kata MA soal Kasasi Terdakwa Dugaan Korupsi SKL BLBI yang Dikabulkan
Kurang lebih sudah 1 tahun 7 bulan Syafruddin menginap setelah hari ini, Selasa, 9 Juli 2019, dirinya bebas.
Tepat pukul 19.54 WIB, sembari menenteng tas hitam, Syafruddin ditemani 3 petugas rutan KPK berjalan keluar rutan.
Syafruddin tampak menyimpulkan senyum. Wajahnya menunjukkan guratan kebahagiaan.
"Saya mengucapkan puji syukur kehadirat Allah Swt. Bahwa saya bisa di luar sekarang, dan ini adalah satu proses perjalanan panjang. Saya terilhami dari perjalanannya Nelson Mandela, dia nulis buku tentang Long Walk To Freedom, perjalanan panjang untuk kebebasan," ucapnya di Rutan K4 KPK, Jakarta Selatan, Selasa (9/7/2019).
"Bahwa dari PN (Pengadilan Negeri) saya ada proses hukum, ada PT (Pengadilan Tinggi) kemudian saya ikuti proses di kasasi, alhamdulillah yang kami mintakan dikabulkan, dan ini adalah satu yang bersejarah bagi saya," tutur Syafruddin menambahkan.
Di akhir perbincangan dengan awak media, sebelum menumpangi mobil yang sudah menunggunya.
Syafruddin mengatakan dia sudah rindu keluarga.
"Saya kira demikian ya, saya sudah kangen keluarga," ujarnya.
Diberitakan, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung bisa menghirup udara bebas.
Dalam vonis kasasi yang diputus MA pada Selasa (9/7/2019) ini, Syafruddin divonis bebas.
Ia dinilai tidak terbukti melakukan korupsi dalam kasus penerbitan SKL BLBI terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). MA menilai perbuatan Syafruddin tersebut bukan pidana.
"Menyatakan terdakwa terbukti sebagaimana didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan itu bukan suatu tindak pidana," ujar Kabiro Hukum dan Humas MA, Abdullah, saat membacakan amar putusan majelis hakim di Gedung MA.
"Mengabulkan permohonan kasasi terdakwa. Melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum," lanjutnya.
Vonis itu diputus oleh Ketua Majelis Hakim Salman Luthan dengan 2 anggota majelis, Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Askin.
Putusan itu, kata Abdullah, sekaligus membatalkan vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta selama 15 tahun penjara dan Pengadilan Tipikor Jakarta selama 13 tahun penjara. MA juga memerintahkan Syafruddin dibebaskan dari tahanan.
"Memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan dari tahanan," ucapnya.
Kasus ini bermula saat BDNI milik Sjamsul Nursalim mendapat BLBI sebesar Rp37 triliun yang terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet dan dana talangan valas.
Selain itu, BDNI juga disebut menerima BLBI sebesar Rp5,4 triliun dalam periode setelah 29 Januari 1999 sampai dengan 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet.
Namun BDNI melakukan penyimpangan dalam penggunaan dana puluhan triliun tersebut. BPPN kemudian menetapkan BDNI sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum.
Untuk menyelesaikan persoalan hukum tersebut, BDNI diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcusition Agreement (MSAA).
BDNI yang mengikuti MSAA itu menjaminkan aset berupa piutang petambak sebesar Rp4,8 triliun.
Utang itu ternyata dijamin oleh dua perusahaan yang juga milik Sjamsul, PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira.
Sjamsul menjaminkan hal tersebut sebagai piutang lancar, namun belakangan diketahui bahwa piutang itu merupakan kredit macet.
Syafruddin dinilai terbukti menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan Sjamsul Nursalim.
Setelah dilakukan penghitungan, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp220 miliar.
Meski demikian, sisa utang BDNI yakni sebesar Rp4,58 triliun belum dibayarkan.
Baca: MA Bebaskan Terdakwa Kasus BLBI Syafruddin Temenggung
Sementara Syafruddin, yang menjadi Kepala BPPN sejak 22 April 2002, kemudian menandatangani surat yang menjelaskan bahwa Sjamsul sudah menyelesaikan kewajiban PKPS.
Perbuatan Syafruddin dinilai membuat Sjamsul mendapat keuntungan sebesar Rp4,58 triliun. Hal tersebut yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara.