Fraksi Nasdem DPR RI Dorong Penggantian UU No.8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi
Faksi Partai NasDem DPR RI melakukan kajian untuk melakukan penggantian UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Faksi Partai NasDem DPR RI melakukan kajian untuk melakukan penggantian UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Wakil Ketua Fraksi NasDem DPR RI Zulfan Lindan mengungkapkan urgensi penggantian UU Mahkamah Konstitusi (MK) telah berjalan di Komisi III DPR RI.
Hal itu dikatakannya saat Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan di ruang rapat Fraksi NasDem Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (10/7/2019).
"Komisi III DPR RI telah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum untuk meminta masukan para pakar. Rapat Kerja atau Raker dengan pemerintah dalam rangka penyampaian keterangan Presiden atas RUU MK juga sudah dilakukan pada Mei lalu," kata Zulfan.
Saat ini, kata Zulfan, berbagai fraksi tengah menginventarisir Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
Adapun Fraksi NasDem telah mengangkat beberapa isu krusial mengenai MK, meliputi rekrutmen hakim, masa jabatan hakim, kekuasaan kehakiman, dan putusan MK.
"Sejalan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, telah banyak berbagai Putusan MK yang menyebabkan perubahan besar terhadap UU MK. Namun demikian, UU MK juga memiliki permasalahan berkenaan seperti hukum acara karena pengaturannya belum lengkap dan komprehenshif sesuai dengan perkembangan hukum yang ada," ungkap Zulfan.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua MK periode 2003-2008, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa usulan DIM yang dilakukan Fraksi NasDem sudah tepat.
"Masalah rekrutmen hakim ini sudah tepat sekali. Perlu dipertimbangkan apakah harus ditambah seperti di negara-negara lain, tapi yang jelas tidak mungkin dikurangi," ucap Jimly.
Filosofinya, kata Jimly, keberadaan sembilan hakim di negara kita adalah sembilan tiang konstitusi yang berarti juga sembilan mazhab pikiran keadilan.
Keberadaan jumlah hakim sebanyak itu menunjukkan bahwa keadilan tidak boleh tunggal, tetapi maksimal ada 9 pikiran keadilan.
"Kita tidak bisa menghadirkan keadilan sebagai satu jalan. Boleh jadi 9 jalan keadilan dengan hakim sebanyak 9 orang. Intinya tidak boleh satu keadilan," jelas Jimly.
Dalam ilmu hukum, hal itu dijelaskan sebagai tradisi dissenting opinion.
Tradisi dissenting opinion di Indonesia awalnya dilakukan di Pengadilan Tata Niaga.
Walaupun, kata Jimly, pengadilan itu terkenal hanya di kalangan penguasaha saja.
"Jadi, boleh jadi yang pertama kali mengenalkan tradisi dissenting opinion adalah MK," tuturnya.
Jimly berpendapat, karena alasan tradisi itu, maka jumlah hakim sebenarnya tidak perlu ditambah, tetapi mengenai proses pengangkatan dan masa jabatan hakim perlu diatur.
Menurutnya, proses pengangkatan hakim MK itu harus diperjelas apakah merepresentasikan 'dipilih oleh' atau 'dipilih dari'.
"Saya pengalaman dulu menyampaikan hal ini ke DPR. Tetapi, suasana yang saya rasakan waktu itu, saya malah dicurigai seperti ingin menjegal sesuatu. Padahal, maksud saya prinsip ‘dipilih oleh’ yang harus ditegaskan dalam pengangkatan hakim MK," tegasnya.
Ia juga menegaskan, dalam penggantian RUU MK ke depannya harus mampu memberikan ketentuan bagi peraturan turunannya.
Karena desain RUU MK kedepan sudah waktunya disusun secara lebih tajam dan komprehensif.
"Misalnya terkait dengan masa jabatan. Pada RUU MK nantinya, hakim itu cukup menjabat 1 periode saja. Karena dengan lebih dari satu periode hakim itu mudah mendapatkan keuntungan dengan jabatannya tersebut," jelasnya.