Cerita Mbak Tutut Soal Pemilihan Kata Berhenti Saat Soeharto Lengser dari Kursi Presiden
Putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana mengungkapkan proses lensernya sang ayah dari kursi Presiden RI pada tahun 1998.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana mengungkapkan proses lensernya sang ayah dari kursi Presiden RI pada tahun 1998.
Perempuan yang kerap disapa Mbak Tutut tersebut, ayahnya saat itu bukan mengundurkan diri sebagai presiden, melainkan berhenti bertugas menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Hal itu disampaikan Siti Hardiyanti saat ditemui disela-sela penyerahan arsip Soeharto di Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Cilandak, Jakarta Selatan, Kamis (18/7/2019).
"Saya koreksi, bukan mundur tapi berhenti, bapak (Soeharto) pakai isilah berhenti. Beliau (Soeharto) cari kata berhenti di UUD 1945," kata Mbak Tutut.
Baca: Ahok BTP Bongkar 2 Tuduhan Veronica yang Bikin Dirinya Tak Mau Berhubungan Lagi
Baca: Pengakuan Hakim HS Korban Penganiayaan Kuasa Hukum Saat Pimpin Sidang di PN Jakarta Pusat
Baca: WHO Tetapkan Wabah Ebola di Kongo Jadi Situasi Darurat Kesehatan Internasional
Baca: Belum Ada Izin, Gubernur Banten Pastikan Politekim Kemenkumham Tidak Bakal Dibongkar
Ia beralasan, penggunaan diksi berhenti dinilai sang ayah lebih tepat ketimbang mengundurkan diri.
Pandangan ayahnya, diksi mundur diartikan belum selesai bertugas dan tidak bertanggung jawab pada pekerjaan.
Sementara, diksi berhenti melakukan pekerjaan namun pemberi kerja telah tidak percaya lalu diberhentikan.
"Beliau (Soeharto) katakan, kalau disebut mengundurkan diri, berarti belum selesai bertugas, sudah mundur, itu artinya enggak tanggung jawab. Tapi kalau berhenti, sedang kerja, yang mempekerjakan itu tidak percaya maka berhenti. Jadi istilah itu diterapkan, bukan mengundurkan diri tapi berhenti," ungkap Tutut.
Tutut juga menceritakan, sang ayah pada tahun 1998 tak ingin memaksakan diri untuk terus memimpin lantaran tak ingin ada lagi korban yang berjatuhan.
"Terus kalau ditanya, kenapa tidak terus memimpin? dijawab kalau saya terus, berarti akan banyak remaja dan generasi yang jadi korban. Karena itu sudah tidak dipercaya lagi kok memaksakan diri, lebih baik berhenti. Jadi biar generasi lain yang teruskan," kata dia.
30 tahun kumpulkan naskah
Keluarga Cendana membutuhkan waktu hampir 30 tahun dalam mengumpulkan naskah-naskah pidato Presiden RI kedua Soeharto yang diserahkan kepada negara pada Kamis (18/7/2019).
Perwakilan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Soenarto Sudarno menuturkan, lamanya proses pengumpulan ditenggarai naskah-naskah dirunut sesuai kronologis periode pemerintahan yakni 1967 - 1998.