PKS Soroti Pasal Karet UU ITE dalam Kasus Baiq Nuril
Komisi III DPR RI akan menggelar rapat internal membahas surat permintaan pertimbangan Amnesti dari presiden untuk Baiq Nuril, pada Selasa.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi III DPR RI akan menggelar rapat internal membahas surat permintaan pertimbangan Amnesti dari presiden untuk Baiq Nuril, pada Selasa, (23/7/2019).
Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil mengatakan bahwa tidak ada halangan dalam memberikan pertimbangan amensti untuk Baiq Nuril.
Pasalnya Presiden telah memutuskan memberikan Amnesti bagi Baiq Nuril.
"DPR tidak ada halangan pemberian amnesti tersebut, karena DPR sudah dari awal Presiden memberikan amnesti," ujar Nasir di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Hanya saja dalam kasus Baiq Nuril, pihaknya akan menyoroti undang-undang informasi dan transaksi elektronik (ITE).
Pasalnya terdapat pasal karet dalam UU ITE tersebut.
"Kalau ini enggak dievaluasi maka nanti banyak Baiq Nuril yang terjerat," katanya.
Baca: Fraksi PAN Minta Kasus Pelecehan Baiq Nuril Dibuka Lagi
Selain itu menurutnya bila tidak dievaluasi maka, Presiden akan terus menghadapi persoalan permintaan amnesti seperti kasus Baiq Nuril.
"Makanya Presiden rekomendasi pemberian regulasi evaluasi dan diganti UU ITE ini. Kalau enggak dievaluasi maka hanya sekadar mencari simpati publik," pungkasnya.
Baiq Nuril merupakan Guru Honorer di SMAN 7 Mataram. Kasusnya berawal pada 2012 lalu.
Saat itu, ia ditelepon oleh kepala sekolahnya, Muslim.
Percakapan telepon tersebut mengarah pada pelecehan seksual. Karena selama ini kerap dituding memiliki hubungan dengan muslim, Nuril kemudian merekam percakapan tersebut pada telepon genggamnya.
Karena didesak teman-teman sejawatnya Nuril kemudian menyerahkan rekaman tersebut untuk digunakan sebagai barangbukti laporan dugaan pelecehan seksual atau pencabulan oleh muslim ke dinas pendidikan setempat.
Akibat laporan tersebut sang Kepala Sekolah akhirnya dimutasi. Karena tidak menerima, Muslim lalu melaporkan Nuril ke polisi dengan tuduhan pelanggaran UU ITE karena menyebarkan rekaman percakapan tersebut. Laporan itu membuat Nuril sempat ditahan oleh Kepolisian.
Di Pengadilan Negerin Mataram Nuril sebenarnya di Vonis bebas, namun Jaksa saat itu tidak puas dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Hakim MA justru memutus Nuril bersalah pada 26 September 2018. Ia dijatuhi hukuman penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta.
Kasus tersebut kemudian mengundang simpati publik. Apalagi kemudian sang kepala sekolah Muslim justru malah mendapatkan Promosi jabatan sebagai kepala Bidang Pemuda dan Olahraga Kota Mataram.
Selain itu, laporan Nuril adanya dugaan pelecehan seksual atau pencabulan oleh atasannya tersebut dihentikan Polda NTB dengan dalih kurangya bukti.
Kuasa hukum Nuril lalu mengajukan upaya hukum terakhir yakni Peninjauan Kembali (PK) ke MA pada Januari 2019. Pada 4 Juli, MA menolak PK yang diajukan kuasa hukum.
Dengan PK tersebut, Nuril kemudian memperjuangkan keadilan dengan meminta belas kasihan presiden. Ia berharap Presiden memberikan Amnesti atas vonis MA kepadanya itu.