KPK Sita Tanah dan Bangunan Milik Rita Widyasari di Villa Tamara Samarinda
KPK sita tanah dan bangunan di Villa Tamara milik Rita Widyasari yang terletak di Samarinda, Kalimantan Timur.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi

Bupati Kutai Kartanegara nonaktif Rita Widyasari dinyatakan terbukti bersalah menerima suap dan gratifikasi.
Dalam amar putusan yang dibacakan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Rita dijatuhi vonis 10 tahun penjara atas penerimaan gratifikasi sebesar Rp 110,7 miliar dan suap Rp 6 miliar dari Herry Susanto Gun alias Abun.
"Menjatuhkan pidana penjara 10 tahun denda Rp 600 juta atau apabila tidak mampu membayar maka diganti dengan kurungan 6 bulan," ujar Ketua Majelis Hakim, Sugiyanto, Jumat (6/7/2018).
Penerimaan gratifikasi dilakukan Rita bersama-sama dengan Khairudin mantan anggota DPRD Kutai kartanegara yang divonis delapan tahun penjara denda Rp 300 juta atau subsider dua bulan kurungan.
Baca: Rita Widyasari Keberatan Disebut JPU Hidup Berfoya-foya
Dalam vonis, hakim merinci Rita menerima gratifikasi dari beberapa perusahaan setiap kali ada permohonan izin di wilayah kabupaten Kutai Kartanegara sejak Juni 2010 hingga Agustus 2018.
Keduanya dinyatakan bersalah melanggar Pasal 12B Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Sementara itu atas penerimaan suap, Rita divonis telah melanggar Pasal 12b Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Hal-hal yang memberatkan kedua terdakwan ialah tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan tidak memberikan teladan bagi masyarakat Kutai Kartanegara, terlebih posisi Rita sebagai bupati. Hal yang meringankan, mereka berlaku sopan dan belum pernah dihukum.
Pada keduanya majelis hakim juga menjatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama lima tahun usai menjalani pidana pokok.
Atas vonis tersebut, baik Rita, khairudin maupun jaksa KPK menyatakan pikir-pikir.
Menangis saat bacakan pledoi
Bupati nonaktif Kutai Kartanegara, Rita Widyasari tak kuasa menahan tangis saat membacakan nota pembelaan atau pledoi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Senin (2/7/2018).
Berdasarkan pantauan, Rita yang tampak mengenakan baju putih bermotif kotak-kotak hitam tak kuasa menahan tangis saat memulai membacakan pledoi.
Baca: Kunjungi DPP Golkar, Bawaslu Imbau Tidak Usung Mantan Narapidana Korupsi di Pileg 2019
Mulanya, suara Rita mulai terdengar bergetar saat mengucap syukur masih diberi kesehatan dan mengikuti persidangan.
"Saya bersyukur masih diberikan kesehatan dan mengahadapi ujian yang berat yang saya hadapi saat ini," kata Rita dengan nada bergetar.
Kemudian, tangis Rita pecah saat dirinya melanjutkan pembacaan pledoi.
"Atas ujian ini saya serahkan kepada Allah. Saya menyadari sebagai seorang manusia biasa penuh dengan kesalahan yang saya perbuat baik kepada teman-teman saya, rekan kerja saya, masyarakat semuanya, semua buka pintu maaf sebesar atas kesalahan yang saya perbuat," ucap Rita sambil menangis.
Usai menyampaikan hal itu, Rita terlihat menangis cukup lama.
Kurang lebih, Rita menangis selama 1 menit. Tangan kanannya juga terlihat terus mengusap air matanya.
Keluarga Rita, yakni Suami, dan ketiga anaknya turut hadir dalam persidangan juga terlihat menangis mendengarkan keterangan Rita dikursi persidangan.
Lalu, Rita juga tak lupa menyampaikan permintaan maaf kepada masyatakat Kutai Kartanegara tempat dirinya memimpin.
Dia menyebut, kejadian dirinya semoga tidak terjadi di lain waktu.
"Tidak lupa saya meminta maaf kepada masyarakat Kutai, bagaimama tempat saya mengabdi, kejadian ini menjadi pelajaran dan tidak terjadi di masa yang akan datang," jelas Rita.
Sementara, dalam nota pembelaan yang disampaikan oleh penasihat hukum Rita, mengatakan bahwa kliennya tidak terbukti melakukan penerimaan gratifikasi dan suap dari pemilik PT Sawit Golden Prima, Herry Susanto Gun alias Abun.
Selain itu, menolak tuntutan JPU terkait pencabutan hak politik terhadap kliennya.