Saksi PBB Sebut Ada Permainan Suara di Tingkat PPK Alor Barat Laut NTT
Rahmat Marweki selaku saksi PBB pada tingkat PPK Kecamatan Alor Barat Laut menjelaskan kronologis kejadian di hadapan Majelis Hakim Konstitusi.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang sengketa hasil Pileg 2019 dengan agenda pemeriksaan saksi dan ahli dari pihak Pemohon, Termohon, pihak terkait, dan Bawaslu.
Dalam ruang sidang panel 1, MK menggelar sidang dengan perkara nomor 100-19-19/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 untuk Perselisihan Hasil Pemilihan Umum DPR-DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Tahun 2019 yang dimohonkan Partai Bulan Bintang (PBB).
Saksi PBB memaparkan keterangannya lewat video conference dari fakultas hukum, Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT.
Baca: Dialog: Bus Berlabel Transjakarta Mangkrak, Siapa Harus Tanggung Jawab?
Baca: Prakiraan Cuaca 33 Kota Besar Selasa (30/7/2019) Yogyakarta dan Bandung Cerah Berawan Sepanjang Hari
Baca: Roger Danuarta Menyempatkan Waktu untuk Belajar Agama Demi Persiapkan Diri Jadi Imam Cut Meyriska
Baca: Sikapi Kasus Polisi Tembak Polisi di Depok, Polri Beberkan Prosedur Anggotanya Pegang Senjata Api
Rahmat Marweki selaku saksi PBB pada tingkat PPK Kecamatan Alor Barat Laut menjelaskan kronologis kejadian di hadapan Majelis Hakim Konstitusi.
Ia mengawali kesaksiannya pada pelaksanaan rapat pleno tingkat PPK tanggal 22 April 2019.
Saat itu Rahmat meminta pemungutan suara ulang (PSU) karena menilai terjadi pelanggaran di tingkat TPS yang tak kunjung dilaporkan oleh panitia pengawas di sana.
"Untuk itu kami minta PSU," ungkap Rahmat dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (29/7/2019).
Kemudian pada tanggal 24 April 2019, Rahmat meminta PPK menghadirkan Panwaslu, Bawaslu dan KPU Kabupaten guna bisa mengkonfrontasi sekaligus memecahkan masalah yang ada.
Ketika seluruh pihak hadir dalam rapat pleno, namun ia mengaku dirinya malah tidak diajak berunding. Pihak PPK disebut memaksakan menggelar pleno dengan mengesampingkan keberatan saksi PBB.
Rahmat bersama saksi PBB lainnya memilih walkout dari rapat pleno dengan lebih dulu menandatangani formulir D2. Sebanyak 11 partai politik juga ikuti langkah mereka.
Tapi 4 parpol sisanya, yakni Golkar, PDI-Perjuangan, Nasdem dan PPP tetap mengikuti rapat pleno lanjutan tersebut.
Ia menduga ada sesuatu yang terjadi dalam pleno rekapitulasi tersebut. Karena keempat parpol yang bertahan, seluruhnya mendapatkan kursi lewat penghitungan versi Termohon.
"Keempat parpol, ikut serta pleno lanjutan. Yaitu Golkar, PDI-P, Nasdem, dan PPP. Keempatnya itu yang mendapat kursi 1,2,3,4 menurut versi KPU," jelas dia.
Hakim Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat bertanya apa alasan yang mendasari Rahmat memilih walkout dari pleno tingkat PPK itu.
Rahmat menjawab, tindakan tersebut dilatar belakangi pada banyaknya persoalan yang terjadi di tingkat TPS namun tak diindahkan oleh kubu Termohon.
"Banyak sekali persoalan. Ada petugas yang antar-antar orang masuk keluar pencoblosan. Formulir C1 tidak dikasih. Itu persoalan di lapangan," ungkap Rahmat.
Ia juga mengaku sudah melaporkan temuan di lapangan itu kepada Bawaslu Kabupaten Alor secara tertulis tanggal 27 dan 29 April 2019.
"Dilaporkan ke Bawaslu Kabupaten, dilaporkan secara tertulis tanggal 27 dan 29 April," jelas dia.