Pengamat: Perlu Revisi UU untuk Larang Eks Koruptor Maju Pilkada
Lebih jauh ia melihat, hambatan dari pelarangan eks koruptor maju dalam Pilkada terletak pada Undang undang terkait.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-- Pengamat politik dari Universitas Paramadina Djayadi Hanan setuju kalau ada larangan terhadap eks koruptor untuk maju dalam pilkada tertuang dalam Undang-undang.
Apalagi sejumlah eks koruptor yang terpilih lagi menjadi kepala daerah tertangkap korupsi lagi.
"Pelarangan ini juga menjadi salah satu hukuman bagi koruptor. Sehingga seorang yang ingin jadi kepala dearah atau yang sedang menjabat kepala daerah akan sangat terdorong untuk menghindari korupsi," ujar Direktur Eksekutif LSI (Lembaga Survei Indonesia) ini kepada Tribunnews.com, Kamis (29/8/2019).
Selama ini, imbuh dia, upaya melarang eks koruptor menjadi kepala daerah sudah ada, tapi hanya berasal dari kalangan masyarakat sipil, KPU, dan KPK.
Namun kata dia, pihak parpol belum menunjukkan upaya kongkretnya terkait hal itu.
Lebih jauh ia melihat, hambatan dari pelarangan eks koruptor maju dalam Pilkada terletak pada Undang undang terkait.
Karena itu tepat, imbuh dia, kalau pelarangan itu harus dimulai dengan revisi UU.
Karena dia tegaskan, kalau menunggu parpol akan lama, dan belum tentu mereka lakukan.
Selain itu menutu dia, kalau revisi berasal dari presiden, atau bahkan langsung diubah melalui Perppu, maka nanti DPR dan parpol mau tidak mau harus membahasnya.
"Kalau revisi berasal dari presiden, atau bahkan langsung diubah melalui perppu, maka nanti DPR dan parpol mau tidak mau harus membahasnya," ucapnya.
Untuk itu, dia menilai, ini saatnya bagi Presiden Jokowi untuk menunjukkan kepemimpinannya yang tegas dana upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Dan itu dimulai dari inisiatif mengajukan draf Revisi UU Pilkada atau melalui Perppu.
"Ini saatnya bagi presiden untuk menunjukkan kepemimpinan yang lebih tegas dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi," tegasnya.
Anggota DPR: MK Sudah Membatalkan Syarat Itu
Anggota Komisi II DPR RI, Achmad Baidowi menanggapi usulan Bawaslu dan KPU agar dilakukan revisi terbatas UU No 10 Pilkada Tahun 2016 tentang Pilkada. Salah satu poin revisi yang dia usulkan adalah penambahan aturan terkait pelarangan pencalonan eks napi koruptor.
Wakil Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengingatkan, penyusunan UU harus selalu mengacu kepada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
DPR RI pun pernah membuat aturan larangan eks koruptor mencalonkan diri dalam Pilkada.
Namun MK membatalkan aturan larangan bagi eks koruptor maju dalam Pilkada.
"Bukankah MK sudah menghapus syarat bagi mantan napi untuk bisa beraktivitas kembali dalam pencalonan pejabat negara dengan syarat secara terbuka menyampaikan kepada publik," ujar Baidowi kepada Tribunnews.com, Rabu (28/8/2019).
Artinya, dia tegaskan, dalam putusan MK tidak ada larangan untuk mantan narapidana kasus korupsi.
Bukan itu saja, dia mengingatkan pula, Mahkamah Agung (MA) juga membatalkan aturan PKPU terkait pelarangan eks koruptor menjadi Calon Legislatif.
"Kenapa PKPU yang melarang mantan napi koruptor jadi caleg dibatalkan MA? Karena bertentangan dengan UU dan UU sejalan dengan konstitusi," tegasnya.
Ia pun mengutip putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 7 huruf g Undang-Undang (UU) 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). MK mensyaratkan mantan napi yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah wajib mengumumkan dan mengakui secara terbuka serta jujur atas statusnya tersebut pada publik.
Namun, putusan ini tidak berlaku bagi mantan narapidana yang hak pilihnya dicabut melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
”Pasal 7 huruf g UU 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota bertentangan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, kecuali bagi mantan narapidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” ujar Ketua MK Arief Hidayat di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (9/7/2015) lalu.
Bawaslu dan KPU Dorong Revisi UU Pilkada Agar Eks Koruptor Tak Bisa Ikut
Ketua Bawaslu Abhan menghadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (28/8/2019).
Kedatangan Abhan untuk melaporkan kinerja Bawaslu dalam mengawasi Pemilu 2019 dan persiapan kontestasi Pilkada 2020.
Selain itu, kata Abhan, Bawaslu juga menyampaikan perlu dilakukan revisi terbatas.
Ia mencontohkan yang perlu diperbaiki, seperti syarat pelarangan calon peserta Pilkada bagi seseorang berstatus mantan terpidana kasus korupsi agar diperkuat di dalam undang-undang.
"Tidak cukup dengan PKPU (Peraturan KPU), karena kalau PKPU nanti, norma undang-undangnya masih membolehkan, nanti jadi masalah kembali," ujarnya.
"Seperti pengalaman saat di Pileg tahun 2019, ketika PKPU mengatur napi koruptor, kemudian diuji di Mahkamah Agung dan ditolak. Itu jangan sampai terulang," sambung Abhan.
Menurutnya, hal tersebut diusulkan ke Presiden, dimana undang-undang yang harus direvisi terbatas maupun meyeluluruh yaitu terkait syarat peserta Pilkada pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
"Tadi kami melakukan usulan itu kepada pemerintah, dan kami juga menyerahkan naskah akademik atas usulan revisi UU 10 tahun 2016," ujar Abhan.
Di tempat berbeda, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga menyakini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan segera mensahkan larangan eks koruptor maju dalam pilkada menjadi undang-undang.
Selain itu, Ketua KPU Arief Budiman berharap, baik pemerintah dan DPR juga dapat melakukan revisi dalam undang-undang pemilu.
Hal itu disampaikan, Arief usai bertemu wakil presiden RI, Jusuf Kalla, di kantor Wapres RI, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2019).
"Untuk yang sekarang ya, untuk pilkada, kan kita belum pernah rapat resmi untuk membahas ini dengan DPR. Tetapi di dalam banyak forum kita diskusi mereka (DPR) setuju dengan substansi bahwa jangan lagi lah ada mantan terpidana korupsi untuk maju dalam pilkada," ujar Arief.
Meski demikian, ia menyerahkan kewenangan larangan itu dimasukan dalam UU sepenuhnya kepada Pemerintah dan DPR.
"Kewenangannya ada di Pemerintah dan DPR ya kita serahkan sepenuhnya kepada pemerintah dan DPR. Tapi KPU kan sudah pernah menyampaikan ini sebenarnya. Baik kepada pemerintah dan DPR," jelasnya.
Menurut dia, subtansi keinginan KPU agar larangan eks.koruptor diundangkan adalah untuk menghindari adanya judicial review di Mahkamah Agung.
"Jadi mudah-mudahan. Apa lagi ada kejadian yang terakhir itu, mudah-mudahan untuk pilkada ini tidak dijudicial review, tidak dichallenge oleh para pihak," harapnya.(*)