Kalau Revisi UU Gol KPK jadi Lembaga Eksekutif
"Semua kejadian dan agenda yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini membuat kami harus menyatakan kondisi yang sesungguhnya saat ini," ujar Agus.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA-DPR telah menyusun rancangan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu poinnya mengatur tentang kedudukan KPK yang berada pada cabang eksekutif.
Baca: Agar Revisi UU KPK Tak Dibahas, Jokowi Diminta Tak Keluarkan Surat Presiden
Dengan kata lain, jika revisi undang-undang ini disahkan, KPK akan menjadi lembaga pemerintah. "Penataan kelembagaan KPK dilaksanakan sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017. Di mana dinyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari cabang kekuasaan pemerintahan," bunyi Penjelasan Umum rancangan revisi UU KPK sebagaimana dikutip dari draf yang diterima.
"Komisi Pemberantasan Korupsi termasuk ranah kekuasaan eksekutif yang sering disebut lembaga pemerintah (regeringsorgaan– bestuursorganen)," demikian kelanjutan pasal itu.
Baca: UPDATE Revisi UU KPK: PDIP Ungkap Alasan Perlunya Revisi hingga Diprediksi Tak Butuh Waktu Lama
Untuk diketahui, status KPK selama ini bukan bagian dari pemerintah, melainkan lembaga ad hoc independen, meskipun tidak tertulis jelas di UU KPK sendiri. Meski nantinya berstatus lembaga pemerintah, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, KPK tetap bersifat independen.
Jika revisi UU KPK ini disahkan, pegawai KPK ke depan akan berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN). Dengan demikian, mereka harus tunduk pada Undang-Undang ASN. "Pegawai KPK adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang aparatur sipil negara," bunyi Pasal 1.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyatakan saat ini lembaga di bawah kepemimpinannya sedang berada di ujung tanduk. Bukan tanpa sebab, menurut Agus, terdapat dua permasalahan yang tengah mendera KPK.
Baca: YLBHI: Revisi UU KPK Bentuk Pelemahan Fungsi KPK
"Semua kejadian dan agenda yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini membuat kami harus menyatakan kondisi yang sesungguhnya saat ini," ujar Agus.
Pertama, kata Agus, adalah tentang seleksi pimpinan KPK yang menghasilkan 10 nama calon pimpinan yang di dalamnya terdapat orang yang bermasalah. Hal seperti itu, menurutnya, akan membuat kerja KPK terbelenggu dan sangat mudah diganggu oleh berbagai pihak.
Yang kedua, diketahui Kamis (5/9/2019) ini Sidang Paripurna menyetujui revisi Undang-Undang KPK menjadi RUU Inisiatif DPR. Dari situ, KPK menyoroti terdapat 9 persoalan di draf RUU KPK yang beresiko melumpuhkan kerja lembaga antirasuah.
9 poin menurut Agus Rahardjo yang dapat melemahkan kerja komisi antikorupsi, yaitu:
1) Independensi KPK terancam
2) Penyadapan dipersulit dan dibatasi
3) Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR
4) Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi
5) Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung
6) Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria
7) Kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas
8) Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan
9) Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas
Tidak hanya melalui calon pimpinan bermasalah dan revisi UU KPK, kata Agus, upaya pelumpuhan KPK juga dilancarkan melalui RUU KUHP. Diketahui, saat ini,l DPR tengah menggodok RUU KUHP yang akan mencabut sifat khusus dari Tindak Pidana Korupsi.
"Sehingga keberadaan KPK terancam," tegas Agus.
Baca: ICW: Draf Revisi UU KPK Berisiko Hilangkan Kewenangan Angkat Penyidik Independen
Agus mengatakan, pihaknya menyadari DPR memiliki wewenang untuk menyusun RUU inisiatif dari DPR. Namun, KPK meminta DPR tidak menggunakan wewenang tersebut untuk melemahkan dan melumpuhkan KPK. Selain itu, KPK juga berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat membahas terlebih dulu bersama akademisi, masyarakat dan lembaga terkait untuk memutuskan perlu atau tidaknya merevisi UU KPK dan KUHP tersebut.
Hal ini lantaran RUU KPK Inisiatif DPR tersebut tidak akan mungkin dapat menjadi Undang-Undang jika Jokowi menolak dan tidak menyetujui RUU tersebut.
"Karena Undang-Undang dibentuk berdasarkan persetujuan DPR dan Presiden. KPK percaya, Presiden akan tetap konsisten dengan pernyataan yang pernah disampaikan bahwa Presiden tidak akan melemahkan KPK. Apalagi saat ini Presiden memiliki sejumlah agenda penting untuk melakukan pembangunan dan melayani masyarakat," katanya.
"Polemik revisi UU KPK dan upaya melumpuhkan KPK ini semestinya tidak perlu ada sehingga Presiden Joko Widodo dapat fokus pada seluruh rencana yang telah disusun. Dan KPK juga mendukung program kerja Presiden melalui tugas Pencegahan dan penindakan korupsi," pungkas Agus.
Baca: Beda Draf Revisi UU KPK dengan UU KPK yang Berlaku Sekarang Mengenai Penyidik KPK