Revisi UU KPK Dinilai Perlu Karena Modus Korupsi Terus Berkembang
Ia menduga hal itu terjadi lantaran KPK terlalu fokus melakukan penindakan ketimbang pencegahan.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus menilai revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi sangat diperlukan.
Pasalnya, ia menyebut, persoalan dan modus korupsi saat ini semakin berkembang dibandingkan sejak pertama kali dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
“Persoalan korupsi, modus dan lain-lain terus berkembang. Yang dikhawatirkan adalah Undang-Undangnya yang ketinggalan,” ujar Sulthan di Jakarta, Sabtu (7/9/2019).
Sulthan menuturkan, revisi UU KPK diperlukan lantaran kasus korupsi terus bertambah setiap tahunnya.
Ia menduga hal itu terjadi lantaran KPK terlalu fokus melakukan penindakan ketimbang pencegahan.
Baca: DPR Buka Laporan Masyarakat terkait 10 Capim KPK, Masinton: Harus Disertai Bukti-bukti
Padahal, KPK seharusnya menjalin kerjasama dengan banyak pihak untuk mencegah kebocoran anggaran.
“Kita sudah memberikan waktu selama 17 tahun, ayo dong sekali-kalo kita coba sekarang pencegahan, artinya apa sistem yang dibangun,” ujarnya.
DPR sebelumnya sepakat mengambil inisiatif revisi UU KPK. Para wakil rakyat itu telah menyusun draf rancangan revisi UU KPK dan disetujui dalam rapat Baleg.
Setidaknya terdapat enam poin pokok perubahan dalam revisi UU KPK. Poin-poin pokok itu antara lain berkaitan dengan keberadaan dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), status pegawai KPK, kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, dan posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.
Rencana revisi UU KPK ini langsung dikritik oleh sejumlah pihak, mulai dari Indonesia Corupption Watch (ICW) sampai KPK. Bahkan Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan bahwa KPK sedang berada di unjuk tanduk.
Lebih lanjut, kata Sulthan, selain pencegahan, kewenangan penyadapan yang dimiliki oleh KPK juga tak diawasi.
Ia melihat KPK selama ini secara bebas melakukan penyadapan tanpa ada pihak yang mengontrol dan mengawasi.
Menurutnya, ketiadaan pengawasan, membuka potensi berbagai pelanggaran.
“Kita tidak pernah tahu seseorang itu berapa lama dia disadap alat komunikasinya, berapa lama dia disadap pembicaraannya, atau orang 1x24 jam semua bicara masalah korupsi, kan tidak. Ada privasi keluarga di situ, ada hutang piutang dan sebagainya,” papar Sulthan.
“Selama ini bagaimana itu, kita kan tidak pernah tahu yang di luar KPK. Alasannya dia ambil yang menjadi alat bukti dia bawa ke persidangan, tapi untuk mendapatkan itu ada berapa hak-hak orang yang dilanggar,” tambahnya.
Oleh sebab itu, ia menyarankan perlu ada pembatasan masa penyadapan, misalnya 3 sampai 6 bulan.
Selain itu, ia menyarakan ada pihak yang memberi izin kepada KPK sebelum melakukan penyadapan.
“Terserah apa mau diberikan ke dewan pengawas kalau di dalam draf revisi atau mau dikasih ke ketua pengadilan juga tidak masalah,” jelas Sulthan.
Sultah juga mengatakan, kekhawatiran KPK akan adanya kebocoran jika penyadapan memerlukan izin dari pihak luar hanya merupakan sebuah asumsi yang sengaja dibangun.
Jika di balik secara logika, ia menyebut tidak adanya ekternal membuat KPK bertidak sewenang-wenang.
“Kita belum pernah mencoba sebenarnya bagaimana penyadapan ini, bagaimana ini kita kan ga pernah tahu, sama sekali tidak tahu berapa lama. Kemudian setelah itu file-nya dikemanakan. Saya pikir ini momentum yang paling tepat umtuk buka-bukaan,” pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.