KPK: Aparat Penegak Hukum Seharusnya Tak Boleh Terikat Kontrak Politik
Ide kontrak politik ini diketahui muncul dalam seleksi capim KPK periode 2019-2023 dan dipelopori oleh Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua KPK Laode M Syarif merespons wacana pemberian kontrak politik kepada calon pimpinan KPK periode berikutnya. Kontrak politik tersebut berisikan janji konsistensi capim KPK bila terpilih sebagai pimpinan.
Ide kontrak politik ini diketahui muncul dalam seleksi capim KPK periode 2019-2023 dan dipelopori oleh Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Menurut Laode, untuk menjadi aparat penegak hukum, misalnya pimpinan KPK, mereka tidak boleh mewakili konstituen politik tertentu. Dia menegaskan, capim KPK harus terbebas dari jeratan komitmen politik apapun.
Baca: SESAAT LAGI Live Streaming Timnas Indonesia Vs Thailand, Tonton di Sini
Baca: Tak Terima Divonis 1,5 Tahun Penjara, Mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh Ajukan Banding
Baca: Mengenal Perusahaan Real Estate Related Startup Jepang Dengan Sistem Modern Dikelola Orang Indonesia
"KPK itu adalah lembaga penegak hukum yang tugasnya adalah menegakkan hukum yang tidak boleh terikat pada komitmen politik tertentu," tegas Laode di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (10/9/2019).
Laode mengingat-ingat, dari kepemimpinan KPK jilid I hingga IV pun para komisioner tidak terikat oleh komitmen politik apapun.
Jika saja kontrak politik benar diterapkan, Laode menyangsikan nantinya calon pimpinan KPK akan tunduk kepada pemimpin politik tertentu.
"Jangan-jangan dia (capim KPK) akan loyal kepada pemimpin politiknya, bukan dia loyal kepada penegakkan hukum yang menjadi tujuan utama dari aparat penegak hukum itu bekerja," keluh Laode.
Laode yang sempat mengikuti seleksi capim KPK jilid V pun bersyukur tidak lolos hingga tahapan uji kelayakan dan kepatutan (fit & proper test).
"Terus terang saya bersyukur nih enggak lulus, kalau saya harus disodorin komitmen politik seperti itu, waduh susah sekali," ujarnya.
Sebelumnya anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan sepuluh capim KPK yang akan menjalani uji kelayakan dan uji kepatutan akan mengisi surat pernyataan berisi komitmen yang dibubuhi meterai.
Sekjen PPP itu menjelaskan surat pernyataan tersebut bertujuan untuk mengikat konsistensi pernyataan dan sikap capim agar tidak berbeda antara saat menjalani uji kelayakan dan saat bertugas nanti.
Menurutnya surat tersebut sebagai kontrak politik antara capim KPK terpilih dengan wakil rakyat.
“Mungkin semua sudah tahu bahwa capim yang akan menjalani uji kelayakan dan uji kepatutan akan menandatangani surat pernyataan, tapi sekarang tidak standar, harus diteken di atas meterai dan menjadi semacam kontrak politik antara capim KPK terpilih dengan DPR,” ungkap Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (9/9/2019).
Arsul mengakui bahwa salah satu poin dalam surat pernyataan itu adalah persetujuan atau tidak capim KPK terhadap Revisi UU KPK yang sedang dibahas DPR dengan pemerintah.
Dia mengatakan DPR ingin menilai konsistensi sikap capim KPK dan tidak mau memilih kandidat yang bertujuan asal terpilih dulu.
Sebagaimana diketahui, sebanyak 10 capim KPK dijadwalkan mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III pada Rabu, 11 September 2019.
Mereka adalah Alexander Marwata, (komisioner KPK), Firli Bahuri (anggota Polri), I Nyoman Wara (auditor BPK), Johanis Tanak (jaksa), Lili Pintauli Siregar (advokat), Luthfi Jayadi Kurniawan (dosen), Nawawi Pomolango (hakim), Nurul Ghufron (dosen), Roby Arya B (PNS Sekretariat Kabinet), serta Sigit Danang Joyo (PNS Kementerian Keuangan).
Komisi Hukum nantinya akan memilih lima nama untuk memimpin lembaga antirasuah periode 2019-2023.