Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Habibie di Ujung Kekuasaan Soeharto (1) : Terima Telepon Mengejutkan dari Menko Ginandjar

Pada September 2006 lalu, Habibie meluncurkan buku berjudul Detik-detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, terbitan THC Mandiri

Penulis: Febby Mahendra
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Kisah Habibie di Ujung Kekuasaan Soeharto (1) : Terima Telepon Mengejutkan dari Menko Ginandjar
ISTIMEWA
Presiden BJ Habibie semasa hidup 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - BJ Habibie, Presiden ke-3 Republik Indonesia, mengembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta, pada sekira pukul 18.05 WIB, Rabu (11/9/2019).

Pada September 2006 lalu, Habibie meluncurkan buku berjudul Detik-detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, terbitan THC Mandiri.

Dalam buku itu, di antaranya Habibie mengungkapkan kondisi menjelang Soeharto lengser dari kursi Presiden ke-2 RI dan peralihan kekuasaan kepada dirinya selaku Wakil Presiden RI. Berikut cuplikan sebagian isi buku itu untuk mengenang jejak langkah almarhum di awal masa reformasi.
=======================================================
SEHARI menjelang pengunduran diri Soeharto sebagai presiden, 20 Mei 1998, Habibie tengah mempersiapkan materi untuk dilaporkan kepada Presiden. Sesuai rencana laporan bakal disampaikan di rumah pribadi Soeharto, kawasan Jl Cendana, Jakarta, pukul 19.30 WIB, 20 Mei 1998.

Presiden ke-3 RI BJ Habibie tengah sakit (menggunakan kursi roda) hadir jadi saksi pernikahan atau akad nikah putri dari asisten rumah tangga (ART) Sigit di Gedung Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, 28 Agustus 2019. Momen tersebut terjadi dua pekan sebelum BJ Habibie meniggal di RSPAD Gatot Subroto Jakarta.
Presiden ke-3 RI BJ Habibie tengah sakit (menggunakan kursi roda) hadir jadi saksi pernikahan atau akad nikah putri dari asisten rumah tangga (ART) Sigit di Gedung Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, 28 Agustus 2019. Momen tersebut terjadi dua pekan sebelum BJ Habibie meniggal di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. (Istimewa)

"Bahan masukan saya peroleh dari Sekretariat Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar. Perlu saya sampaikan bahwa Keluarga Besar Golkar terdiri dari Golkar, ABRI, dan Utusan Daerah. Masing-masing diwakili oleh Ketua Golkar, Panglima ABRI (Pangab),
dan Menteri Dalam Negeri," tulis Habibie dalam Bab I buku Detik-detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.

Posisi Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar diberikan kepada Habibie dua kali yaitu 1993 dan 1998. Dalam mekanisme politik saat itu, peran Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar amat menentukan.

Keputusan untuk mengangkat Habibie sebagai Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar tanpa pengganti, diterima pada 31 Desember 1997 malam hari. Pada saat itu kondisi sedang tidak menentu akibat krisis ekonomi moneter di Thailand yang mulai terasa di Indonesia.

"Dalam keadaan yang tidak menentu dan kritis itu, timbul pertanyaan pada diri saya, mengapa justru saya yang mendapat kehormatan dan kepercayaan untuk menjadi Koordinator Harian tanpa pengganti," katanya.

Berita Rekomendasi

Namun ia tidak pernah berhasil mendapat jawaban atas pertanyaan ini, begitu pula alasan dan maksud tujuannya. Kabinet Pembangunan yang dibentuk setelah Sidang Umum (SU) MPR, merupakan hasil penilaian dan analisis presiden terpilih bersama Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar.

Seperti yang dialami Habibie pada 1993, bukan wakil presiden terpilih yang diajak presiden terpilih untuk bersama menyusun Kabinet Pembangunan, melainkan Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar.

"Kunjungan saya ke kediaman Presiden Soeharto di Cendana, adalah dalam posisi sebagai Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar, bukan sebagai wakil presiden. Kunjungan itu bersifat rutin dan biasanya dilaksanakan di tempat dan waktu yang sama," katanya.

Sewaktu Habibie sedang mempelajari laporan masukan dari tiga jalur, sekira pukul 17.00, ajudan Kolonel (AL) Djuhana melaporkan Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita minta berbicara melalui telepon.

Dalam kesempatan itu Ginandjar melapor Menko Ekuin bersama 13 menteri yang berada dalam koordinasinya tidak bersedia lagi untuk duduk di dalam Kabinet Reformasi yang anggotanya sedang disusun. Tetapi, sebagai anggota Kabinet Pembangunan VII, mereka akan tetap melaksanakan tugas masing-masing, sampai Kabinet Reformasi terbentuk.

"Apakah Anda sudah bicarakan dengan Bapak Presiden," tanya Habibie. Jawaban Ginandjar, "Belum, tetapi keputusan itu sudah ditandatangani bersama sebagai hasil rapat kami di Bappenas dan sudah dilaporkan secara tertulis, kepada Bapak Presiden, melalui Tutut, putri tertua Pak Harto."

"Mengapa harus begini," tanya Habibie kepada Ginandjar soal sikap 14 menteri itu. Para menteri yang tidak bersedia menjabat lagi itu antara lain Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno, Haryanto Dhanutirto, Justika Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, dan Sumahadi.

Setelah menerima laporan Ginandjar, sekira pukul 17.45, ajudan melaporkan Menteri Keuangan Fuad Bawazier terus mendesak untuk melaporkan sesuatu yang penting.

"Apakah isu yang berkembang, bahwa Pak Habibie bermaksud mengundurkan diri sebagai wakil presiden itu benar?" Saya jawab, "Isu tersebut tidak benar. Presiden yang sedang menghadapi permasalahan multikompleks, tidak mungkin saya tinggalkan. Saya bukan pengecut!" (tribunnetwork/feb)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas