Kadin Sebut Revisi UU KPK Perlu Dikawal
Melli mengatakan, Check and balances itu biasa dalam hukum tata negara, sehingga tidak perlu diributkan
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Melli Darsa mengungkapkan Revisi Undang-Undang tentang KPK perlu dikawal agar poin-poin penting yang diperlukan dalam pengembangan KPK masuk dalam revisi tersebut.
“Yang namanya sebuah organisasi atau institusi pasti harus selalu berkembang mengikuti perubahan zaman. Jadi lebih baik kita kerahkan energi dan pikiran kita untuk mengawal proses RUU KPK agar memerhatikan poin-poin berikut, yaitu peningkatan kualitas SDM, nilai dan budaya institusi, tata kelola dan pengendalian, serta akuntabilitas dan transparansi," kata Melli Darsa dalam keterangannya, Senin (16/9/2019).
Baca: Menkumham dan Menpan RB Hadir Dalam Rapat Pembahasan Revisi UU KPK Malam Ini
Melli mengatakan, Check and balances itu biasa dalam hukum tata negara, sehingga tidak perlu diributkan.
Paling utama, lanjut Melli, KPK tetap ada independensi dalam penetapan tindakan, aksi, dan penilaian profesional terhadap tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
“Contoh, adanya Dewan Pengawas menurut saya tidak akan mengurangi independensi KPK. Yang penting anggota dari Dewan Pengawas itu dijaga profesionalitasnya. Dan ibaratnya lebih sebagai two tier structure seperti halnya di Badan Hukum Perseroan Terbatas pada umumnya. Ada direksi, ada komisaris. Keduanya sejajar, saling melengkapi, saling memperkuat, dan selama dibentuk dengan benar Komisaris tidak melemahkan Direksi,” jelas Melli.
Selain itu, Melli menambahkan revisi UU KPK perlu dilanjuti nantinya dengan revisi UU Tipikor.
“Merevisi UU KPK tanpa merevisi UU Tipikor menjadi seperti kita punya smartphone lebih bagus tapi software-nya tidak update. Ini dikarenakan UU Tipikor terkait erat dengan doktrin-doktrin keuangan negara dalam arti luas di dalam UU Perbendaharaan Negara. Paradigma keuangan negara dalam arti luas dari UU Perbendaharaan Negara saat ini masih menimbulkan banyak ketidakpastian bagi dunia usaha,” menurut Melli yang juga pernah menjadi sukarelawan di YLBHI semasa menjadi mahasiswi tingkat pertama di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan sejak lama sudah menjadi pegiat anti korupsi.
Salah satu contohnya adalah pasal di dalam UU tentang Tipikor yang mengatur bahwa tindak pidana korupsi meliputi perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara.
Konsep ini dalam praktiknya masih diartikan terlalu kaku dan normatif, sehingga sebuah transaksi bisnis atau corporate action yang biasa dilakukan di dunia usaha dapat disalahartikan sebagai tindakan korupsi hanya karena masalah prosedural.
“Contoh lain, terkait dengan corporate action di BUMN yang sering kali dikaitkan dengan definisi potensi kerugian keuangan negara dari UU Perbendaharaan Negara. Padahal perlu kita ingat aset dan keuangan BUMN sudah dipisahkan dari APBN dan dalam bisnis yang namanya potensi rugi pasti ada. Tapi kan bukan berarti perusahaan ingin rugi atau sengaja merugi. Maunya pasti untung dengan strategi korporasi yang terukur dan mengelola dengan baik risiko yang ada”, kata Melli.
Baca: KPK Minta DPR Tunda Pengesahan RUU KPK
Lebih lanjut Melli mengatakan doktrin ini yang seringkali menimbulkan kerancuan definisi dan berpotensi menjadi pasal karet yang menimbulkan ketidakpastian hukum bagi dunia usaha.
“Umpamanya BUMN melakukan transaksi derivatif atau Haircut Non-Performing Loan, itu kan biasa saja sebenarnya di dunia usaha dan tidak ada niat jahat di situ. Jadi jangan langsung di-cap BUMN tersebut melakukan korupsi. Kita harus ingat bahwa di dunia usaha yang namanya corporate action atau investasi itu return-nya tidak dalam jangka pendek”, tutup Melli.