Peneliti: KPK Punya Hak Konstitusional untuk Dilibatkan dalam Pembahasan Revisi UU KPK
"KPK punya hak konstitusional untuk menuntut hal itu," kata Natsomal Oemar kepada Tribunnews.com
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) punya hak untuk menuntut dilibatkan dalam pembahasan Revisi UU KPK.
Menurut peneliti dari Indonesian Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar, lembaga antirasuah itu yang paling terdampak dari revisi tersebut.
Baca: YLBHI: Penolakan Jokowi Terhadap Empat Poin Revisi UU KPK Tak Ada Artinya
"KPK punya hak konstitusional untuk menuntut hal itu. Karena lembaga pemberantasan korupsi ini punya kepentingan besar dan lembaga yang paling terdampak terhadap revisi tersebut," ujar Erwin Natosmal kepada Tribunnews.com, Senin (16/9/2019).
Dia menegaskan, posisi KPK dijamin secara konstitusional dalam pembahasan regulasi yang berdampak terhadap lembaganya.
"Sebagaimana yang dimaksud oleh UU tentang Pembentukan Perundang-undangan dan Tata Tertib DPR," jelasnya.
KPK akan mengirimkan surat kepada DPR terkait pembahasan usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"Hari ini, pimpinan juga akan mengirimkan surat kepada DPR sebagai terakhir yang membahas (revisi UU KPK) ini, nanti segera kami kirim," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung Penunjang KPK, Jakarta, Senin (16/9/2019).
Dengan adanya surat tersebut, kata Agus, diharapkan lembaganya masih mempunyai kesempatan untuk ikut dalam pembahasan revisi UU KPK tersebut.
"Mudah-mudah kita masih mempunyai kesempatan untuk ikut bicara untuk menentukan UU tadi," katanya.
Agus juga mengaku bahwa KPK sampai hari ini belum mendapatkan draf resmi revisi UU KPK tersebut.
"Kami sudah meminta kepada Menkumham untuk versi resmi untuk draf RUU KPK baik draf revisi maupun DIM (Daftar Inventaris Masalah)-nya. Sampai hari ini belum kami dapatkan," ujar Agus.
Rapat paripurna DPR pada 3 September 2019 menyetujui usulan revisi UU yang diusulkan Badan Legislatif (Baleg) DPR, yaitu usulan Perubahan atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) lalu menandatangani surat presiden (surpres) revisi UU tersebut pada 11 September 2019 meski ia punya waktu 60 hari untuk mempertimbangkannya.