Polda Jatim Dilaporkan ke Kompolnas terkait Penetapan Status Tersangka Veronica Koman
"Inilah yang dipublikasikan ke medsos melalui Twitter. Jadi apa yang diinformasikan Veronica Koman itu adalah sesuatu yang fakta," katanya
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Media The Guardian hari ini Rabu (18/9/2019) melaporkan bahwa pihak berwajib Australia tampaknya menolak untuk mengesampingkan penyerahan Veronica yang kini dijadikan tersangka dalam kasus Papua.
Veronica merupakan pengacara HAM asal Indonesia yang kini tinggal di Australia, dan sedang diburu oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) karena diduga terkait kasus kerusuhan di Papua.
Baca: Perjalanan Kasus Veronica Koman: Diburu Interpol, Klaim jadi Korban Kriminalisasi, Kini Dibela PBB
Polisi menyebut informasi yang disebar Veronica sebagai hoaks serta menuduhnya menerima aliran dana untuk memprovokasi kasus Papua.
Pasal-pasal pidana yang dituduhkan polisi ke Veronica mengandung ancaman hukuman penjara hingga enam tahun jika dinyatakan bersalah di pengadilan.
Kepada ABC Humas Kepolisian Daerah Jawa Timur Frans Barung Mangera mengatakan jika Veronica tidak melapor ke polisi pada hari Rabu (18/9/2019) ini, maka pihaknya akan menerbitkan "red notice" melalui Interpol untuk penangkapannya.
"Tidak ada intimidasi, yang ada penegakkan hukum secara profesional melalui gelar kerjasama internasional melalui Kemenlu dan jalur polisi internasional," ujar Kombes Frans Barung Mangera.
Pihak berwajib Indonesia
Sementara itu, pihak Departemen Luar Negeri Australia (DFAT) yang dihubungi secara terpisah menyatakan persoalan ini bukan di wilayah mereka, dengan jurubicaranya mengatakan masalah ini ada di ranah Kepolisian Federal Australia (AFP).
Seorang jurubicara AFP menjelaskan, "Setiap pertanyaan tentang permasalahan ini harus ditujukan ke pihak berwajib Indonesia."
Dalam rilis yang disampaikan beberapa waktu lalu, Veronica mengatakan adanya "kampanye pemerintah Indonesia yang ingin membuat saya diam".
Dia menyebut adanya intimidasi polisi terhadap keluarganya di Jakarta serta ancaman untuk mencabut paspor dan memblokir rekening banknya.
Sistem "red notice" Interpol seringkali disalahgunakan oleh rezim otoriter untuk mengejar para pembangkang atau lawan politik pemerintah yang telah meninggalkan negara itu.
Padahal sistem ini seharusnya digunakan untuk mencari dan menangkap orang-orang yang dicari yang akan dituntut atau menjalani hukuman.
Menurut catatan saat ini ada sekitar 58.000 red notice di seluruh dunia, dan hanya sekitar 7.000 yang dipublikasikan.