Margarito Kamis: Aksi Unjuk Rasa Tidak Hanya Karena Penolakan Revisi UU KPK
Aksi unjuk rasa di sejumlah daerah di Indonesia bukan hanya dipicu pengesahan Undang-Undang KPK hasil revisi.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Adi Suhendi
Maka, Mahfud menyebut RUU KPK akan berlaku setidaknya pada Rabu, 17 Oktober 2019.
"Sudah berlaku meskipun presiden menolak tanda tangan," katanya.
Dari sisa waktu yang ada sebelum resmi berlaku, Mahfud mengusulkan beberapa solusi sebagai jalan tengahnya.
Diantaranya lewat legislatif review, Judicial Review, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
Jalan tengah yang paling ringan dan prosedural yakni upaya perubahan lewat mekanisme legislatif review.
Yakni, membiarkan RUU KPK disahkan menjadi Undang-Undang, lalu tak lama kemudian struktur keanggotaan DPR yang baru menyusun agenda dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk dibahas kembali.
Kalau perlu, bisa dijadikan prioritas.
"Bisa. Itu nggak akan menimbulkan keributan, itu proses legislasi biasa dan bisa diprioritaskan pada awal pemerintahan," ujar Mahfud.
Baca: Mabes TNI Akan Dibangun di Kutai Kertanegara Jika Ibu Kota Pindah ke Kaltim, Ini Pertimbangannya
Kalau masyarakat terlanjur kecewa dengan sikap DPR terdahulu dan tidak percaya proses legislatif review, maka publik dapat mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi.
Jalur permintaan pembatalan UU KPK lewat JR pun terbagi dua, yaitu uji formal dan uji materi.
Uji formal bisa dilakukan, jika publik merasa ada prosedur yang terlewat dalam penyusunan RUU KPK.
Seperti contoh, saat rapat paripurna pengesahan RUU KPK disebut hanya dihadiri 80 anggota dari total 560 orang anggota DPR.
"Misalnya ya kalau itu benar. Dari 560 anggota dewan, yang hadir 80 orang kan sidang tidak sah. kalau itu benar, saya tidak tahu. Atau, ada tahapan yang diloncati. Itu uji formal, prosedurnya salah itu bisa dibatalkan," tutur Mahfud.
Sekalipun prosedur pengesahan RUU KPK disebut telah sesuai, publik bisa mengajukan JR soal uji materi.