Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Setya Novanto: Melanggar HAM Kalau Pelaku Tindak Pidana Korupsi Tidak Diberi Remisi

Terpidana Setya Novanto mendukung adanya revisi Undang-Undang Pemasyarakatan (PAS).

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Setya Novanto: Melanggar HAM Kalau Pelaku Tindak Pidana Korupsi Tidak Diberi Remisi
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
terpidana kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto menjalani sidang peninjauan kembali (PK) di gedung Tipikor, Jakarta, Rabu (28/8/2019). Mantan Ketua DPR tersebut mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) dalam perkara korupsi pengadaan KTP Elektronik. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terpidana Setya Novanto mendukung adanya revisi Undang-Undang Pemasyarakatan (PAS).

Menurut dia, pelaku tindak pidana korupsi seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama dengan pelaku tindak pidana umum termasuk dalam pemberian remisi.

"Yang kami harapkan masalah remisi, karena itu adalah hak daripada (narapidana,-red) tindak pidana korupsi. Itu saja yang kami harapkan," kata Setya Novanto ditemui di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (2/10/2019).

Komisi III DPR RI periode 2014-2019 menyusun revisi UU PAS.

Adanya revisi tersebut untuk mempermudah pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi pelaku kejahatan luar biasa termasuk tindak pidana korupsi.

Baca: Wanita Surabaya Positif Pakai Narkoba saat Diciduk di Hotel, Begini Nasibnya Kini

Baca: PT Honda Prospect Motor Resmi Rilis Pembaruan New Honda Mobilio 21 Oktober 2019 Nanti

Baca: Curhatan Hillary Brigitta Lasut, Anggota DPR RI Termuda saat Jadi Wakil Ketua MPR RI Sementara

Revisi UU PAS dilakukan untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum.

Setya Novanto menilai selama ini yang mendapatkan remisi hanya pelaku tindak pidana umum.

Berita Rekomendasi

Dia menilai ada ketidakadilan terhadap pelaku tindak pidana khusus.

"Selama ini yang mendapatkan remisi (narapidana,-red) pidana umum, (seperti,-red) narkoba, pembunuhan," kata Setya Novanto.

Sedangkan, pelaku tindak pidana khusus terutama korupsi sudah menerima hukuman dan sanksi sosial dari masyarakat tetapi tidak mendapat pengurangan masa hukuman.

"(pelaku,-red) tindak pidana korupsi banyak sudah berbuat, sudah bekerja keras, menanggung hinaan keluarga caci maki dan lain-lain, tetapi mereka tidak mendapatkan remisi selayaknya," ujarnya.

Sebab, dia menambahkan, apabila tidak mendapatkan remisi, maka dapat dikategorikan melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

"Tentu perlu dipertimbangkan remisi hak warga binaan, melanggar HAM kalau tidak. (hukuman,-red) Efek jera yang sudah dilakukan tidak mempunyai reward," tambahnya.

Ajukan PK

Terpidana korupsi KTP Elektronik (e-KTP), Setya Novanto mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK).

Rencananya, sidang pembacaan novum atau alat bukti baru PK dibacakan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, pada Rabu (28/8/2019).

Terpidana kasus e-KTP Setya Novanto bersaksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1, dengan terdakwa mantan Dirut PLN Sofyan Basir di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (12/8/2019). Sidang kali ini beragendakan mendengarkan keterangan saksi. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Terpidana kasus e-KTP Setya Novanto bersaksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1, dengan terdakwa mantan Dirut PLN Sofyan Basir di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (12/8/2019). Sidang kali ini beragendakan mendengarkan keterangan saksi. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Penasihat hukum Setya Novanto, Maqdir Ismail mengonfirmasi adanya pengajuan PK tersebut. 
Menurut dia, Novanto dijadwalkan hadir di persidangan itu.

"Kami mulai sidang hari ini. Rencananya begitu. Kalau panggilan sih jam 9," ujar Maqdir, saat dikonfirmasi, Rabu (28/8/2019).

Dia mengungkapkan ada lima alat bukti baru yang akan diajukan. Namun, dia mengaku tidak dapat menjelaskan di luar persidangan.

"Nanti deh kan belum dibacain nanti diomelin hakim. Ada 5 kalau tidak salah," kata dia.

Melalui pengajuan PK itu, dia mengharapkan agar kliennya dapat diputus bebas.

"Bebaslah, kami menyatakan dakwaan itu tidak terbukti dan dakwaan yang dianggap terbukti itu dakwaan yang salah," tambahnya.

Untuk diketahui, Setya Novanto divonis 15 tahun penjara serta diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan di tingkat pertama atau Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Selain itu, hakim Pengadilan Tipikor juga mengganjar Setnov membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta yang apabila tidak dibayarkan maka harta bendanya akan disita dan dilelang. Jika hartanya tidak mencukupi, maka akan diganti pidana 2 tahun penjara.

Atas putusan tersebut, Setya Novanto maupun jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mengajukan banding‎.

Baca: Irjen Antam Novambar Mengaku Tidak Dendam dengan Eks Penyidik KPK Endang Tarsa

Baca: Pablo Benua Dipenjara, Arie Untung Tetap Tagih Uang 600 Juta yang Digelapkan Suami Rey Utami

Berdasarkan aturan PK, Setnov diperbolehkan mengajukan upaya hukum luar biasa yakni PK walaupun tidak mengajukan upaya hukum banding dan kasasi.

Setnov sendiri telah menjalani masa hukuman sekitar satu tahun setelah divonis bersalah karena terbukti melakukan korupsi proyek pengadaan e-KTP yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 2,3 triliun.

Belum Bayar Lunas

Terpidana kasus korupsi pengadaan paket e-KTP, eks Ketua DPR Setya Novanto belum melunasi uang ganti rugi perkara yang menjeratnya.

Padahal, dalam sidang vonis yang digelar pada April 2018 lalu, Setnov--sapaan karibnya--dijatuhi vonis 15 tahun penjara.

Ia diharuskan membayar denda Rp500 juta dan hak politiknya dicabut selama lima tahun usai ia menyelesaikan masa hukumannya. 

Selain itu, ia juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai USD7,3 juta atau setara Rp106 miliar (dengan menggunakan kurs saat ini). Uang itu diwajibkan untuk dibayarkan ke negara maksimal satu bulan usai putusannya berkekuatan hukum tetap. Apabila tidak dipatuhi, maka aset-asetnya akan disita oleh negara dan dilelang. 

Baca: Anggaran Formula E Membengkak, Ini Penjelasan Ketua DPRD Jakarta

Kini, satu tahun kemudian, Setnov belum juga melunasi uang pengganti tersebut. Bahkan, ia memilih untuk mencicil pembayaran uang pengganti tersebut.

Menurut catatan KPK, bekas Ketua Umum Partai Golkar itu sudah lima kali mencicil, baik dengan uang tunai maupun aset. 

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menanggapi hal tersebut. Katanya, KPK tidak memberikan perlakuan khusus untuk Setnov sehingga berimbasnya pemuluran pembayaran uang ganti rugi. 

"Nggak dibiarkan (oleh KPK). Yang penting ada sanksinya kan apabila ia tidak membayar (uang pengganti itu). Jadi, itu semua masih berproses dan kita tunggu dulu," ujar Saut kepada pewarta, Rabu (14/8/2019).

Baca: Saat Olah TKP Lokasi Ditemukannya Briptu Heidar, Polisi Diberondong Tembakan

Pernyataan tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh Juru Bicara KPK Febri Diansyah. Menurut dia, tim penyidik akan terus berupaya semaksimal mungkin untuk melakukan pengembalian kerugian keuangan negara. Dalam kasus mega korupsi e-KTP, negara telah dirugikan sebesar Rp2,3 triliun. 

"Yang pasti kami akan terus mengupayakan penelusuran aset agar kerugian keuangan negara bisa dipulihkan," kata Febri.

Sejauh ini, Setnov baru membayar uang pengganti senilai Rp14,772 miliar dengan mencicil sebanyak lima kali. Cicilan pertama senilai Rp5 miliar, lalu dicicilan kedua Setnov membayar USD100 ribu atau setara Rp1,4 miliar.

Baca: Profil Jenderal Andika Perkasa, Sosok yang Mempertahankan Enzo di Akmil, Menantu Mantan Kepala BIN

Dicicilan ketiga, Setnov membayar Rp1,11 miliar. Sementara, dicicilan keempat, ia membayar uang pengganti senilai Rp862 juta. Cicilan kelima, Setnov menyerahkan sertifikat tanah di area Jatiwaringin, Bekasi Barat.

Tanah tersebut dihargai fantastis oleh kantor BPN Bekasi yakni Rp6,4 miliar. Hal itu lantaran tanah tersebut dilalui oleh kereta cepat Jakarta-Bandung. 

"Istri yang bersangkutan menyerahkan surat kuasa dan sertifikat kepada KPK sebagai bagian dari proses mencicil uang pengganti di kasus KTP Elektronik," kata Febri pada November 2018 lalu.

Setnov diketahui memiliki aset lainnya berupa tanah dan rumah di area Cipete, Jakarta Selatan. Nilainya diperkirakan sebesar Rp6,6 miliar. Namun, aset ini belum diserahkan ke KPK.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas