Pemilu Serentak Tak Sesuai Asas, Perludem Ajukan Uji Materi ke MK
Sidang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Palguna dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Pilkada) diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), selaku pemohon menyebutkan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu; Pasal 3 ayat (1), Pasal 201 ayat (7) dan Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945.
Sidang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Palguna dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih dengan nomor perkara No. 55/PUU-XVII/2019.
Fadli Ramadhanil, kuasa hukum mengatakan sistem pemilu serentak menggunakan model lima kotak tidak sesuai asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Baca: Ketua DPR Puan Maharani Punya Total Kekayaan Rp 363,37 Miliar, Utangnya Rp 49,7 Miliar
Selain itu, kata dia, desain pelaksanaan pemilu lima kotak pada satu hari bersamaan, membuat pemenuhan prinsip pemilu demokratis yang merupakan cerminan dari asas pemilu di Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 telah dilanggar.
Baca: Sri Mulyani Warning Perusahaan-perusahaan Indonesia Waspada, Ada Apa Sebenarnya?
“Keserentakan pemilu yang dipersoalkan ini tidak hanya pemilu presiden dan wakil presiden, tetapi juga tingkat daerah. Maka kami ajukan UU Pemilu dan Pilkada ini sebagai objek permohonan,” kata Fadli, di ruang sidang lantai 2 gedung MK, Rabu (3/10/2019).
Baca: Buruh Pabrik Tahu Ini Selamat dari Amukan Massa Setelah Disembunyikan Warga Lokal Wamena
Dia menjelaskan, berpedoman pada Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, Mahkamah ingin memberikan penegasan desain pemilu serentak adalah sesuatu memiliki pengaruh signifikan terhadap checks and balances terutama efektivitas sistem presidensial di Indonesia.
Namun, menurut dia, desain pelaksanaan pemilu lima kotak itu berakibat pada lemahnya posisi presiden untuk menyelaraskan agenda pemerintahan dan pembangunan.
"Hal ini terjadi karena pemilihan kepala daerah dengan DPRD tidak diserentakkan, sedangkan kepala daerah adalah perpanjangan tangan pemerintahan pusat sekaligus sebagai penyelenggara otonomi daerah," kata dia.
Sementara itu, Khoirunnisa Nur Agustyati, kuasa hukum lainnya, mengatakan terkait kewenangan dan fungsi pemerintah daerah tidak jauh berbeda dengan kerja sistem pemerintahan presidensial.
Di perumusan peraturan daerah, kepala daerah dan DPRD membahas secara bersama-sama perumusan suatu peraturan daerah untuk kemudian memperoleh persetujuan bersama. Hal ini senada dengan relasi kerja Presiden dan Wakil Presiden dengan DPR di perumusan perundang-undangan.
Namun, dia mengungkapkan, pada realitasnya seringkali kesetaraan dan efektivitas ini terganggu karena adanya keterpisahan waktu pemilihan umum kepala daerah dengan pemilihan anggota DPRD.
Akibatnya, jelas Khoirunnisa, berdampak pada pertama, politik transaksional untuk kepentingan jangka pendek bagi kepentingan calon kepala daerah, kedua inefektivitas pemerintahan daerah karena pemerintahan dibentuk atas dasar kepentingan jangka pendek saja. Ketiga, dapat melemahkan dukungan gubernur terpilih di pilkada oleh DPRD.
Baca: Kasus Suap Impor Bawang Putih, KPK Periksa Direktur Operasional PT Pertani