Saran dari Baleg DPR RI soal Polemik Perppu terhadap UU KPK Hasil Korupsi
Terkait hal itu, Ketua Badan Legislasi DPR 2014-2019 Supratman Andi Agtas menilai saat ini seharusnya tidak fokus pada Perppu keluar atau tidak
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Soal Perppu KPK, Presiden Diminta Keluarkan UU Pembatasan Transaksi Uang Tunai
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang KPK hasil revisi masih menjadi polemik hingga saat ini.
Desakan pemerhati antikorupsi dan sejumlah mahasiswa terus mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang terhadap UU KPK hasil revisi.
Baca: Baru Saja Dilantik Jadi Anggota Dewan, Mulan Jameela Digugat Rp 10 Miliar Oleh Mantan Caleg Gerindra
Terkait hal itu, Ketua Badan Legislasi DPR RI 2019-2024 Supratman Andi Agtas menilai saat ini seharusnya tidak fokus pada Perppu keluar atau tidak.
Akan tetapi, bagaimana fokus pemerintah dalam memberantas korupsi.
"Sekali lagi saya tidak mau terjebak masalah Perppu atau tidak. Tetapi soal komitmen pemberantasan tindak pidana korupsi, itu yang paling penting kita perjuangan. Mau Perppu itu hak konstitusional Presiden, itu tidak masalah," tutur Supratman saat acara Perppu KPK Diantara Tekanan Publik dan Jepitan Partai Politik yang digelar SmartFM di Gado-gado Boplo, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (5/10/2019).
Supratman mengusulkan adanya Undang-Undang yang mengatur tentang pembatasan transaksi tunai dalam rangka mencegah korupsi.
Menurutnya, Undang-Undang tersebut setidaknya bisa mengurangi praktik-praktik korupsi yang dilakukan selama ini, yakni menggunakan uang tunai.
"Saya minta dengan segera pemerintah untuk mengusulkan Undang-Undang tentang pembatasan transaksi tunai. Karena selama ini yang tertangkap itu semua dalam bentuk uang tunai. Kalau lahir undang-undang pembatasan transaksi tunai, maksimal setiap orang atau korporasi hanya boleh menarik Rp 10 juta perhari. Ngga akan terjadi tuh korupsi," terangnya.
Menurut Ketua Badan Legislasi DPR 2014-2019, cara memberantas korupsi paling ampuh ialah mengikuti aliran uang.
"Intinya memberantas korupsi itu follow the money. Kalau follow the money kita akan tahu jika transaksinya lewat mekanisme perbankan. Paling mudah ditelusuri oleh BPATK," jelas Supratman.
Baca: Politikus PAN Anggap Typo Dalam Naskah UU KPK Hasil Revisi Sebagai Kekeliruan Biasa
Semua langkah pemberantasan dikembalikan lagi kepada Presiden. Jikalau Presiden akan mengeluarkan UU Pembatasam Transaksi, DPR siap mendukung.
"Persoalannya itu kita mau sungguh-sungguh atau tidak. Kalau tidak, yang akan kita dapatkan setiap saat orang ditangkap, orang dipenjara, kerugian negara tidak kembali ya sama aja, untuk apa," tambah Supratman.
Perppu penangguhan terhadap UU KPK hasil revisi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih memiliki opsi alternatif yang bisa ditempuh terkait penerbitan Peranturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terhadap UU KPK hasil revisi.
Pakar hukum tata negara Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan opsi tersebut yaitu Perppu tentang penangguhan atau penundaan berlakunya Undang-Undang tentang perubahan UU KPK.
Baca: Mahasiswa Ultimatum Jokowi Soal Perppu KPK, Ngabalin: Jangan Mengancam!
"Setelah terlebih dahulu mengundangkan UU perubahan UU KPK maka presiden dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) tentang penangguhan atau penundaan berlakunya UU tentang perubahan UU KPK dalam jangka waktu tertentu. Misalnya penangguhan selama 1 tahun," kata Bayu dalam keterangan pers yang diterima, Jumat (4/10/2019).
Bayu menjelaskan, setelah Perppu tersebut seandainya mendapat persetujuan DPR, selama masa penangguhan tersebut, presiden dan DPR bisa secara lebih tenang, cermat dan partisipatif dapat melakukan proses peninjauan kembali atas UU KPK hasil perubahan yang ditangguhkan tersebut.
"UU baru tersebut akan menggantikan UU KPK hasil perubahan yang telah ditangguhkan keberlakuannya," kata dia.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, kata Bayu, sudah pernah ada peristiwa di mana presiden mengeluarkan Perppu tentang penangguhan atau penundaan suatu Undang-Undang yang telah disetujui bersama dengan DPR dan telah diundangkan.
"Yaitu, Perppu Nomor 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Kemudian pada era sebelum Reformasi juga pernah ada Perppu Nomor 1 Tahun 1984 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai," kata Bayu.
Menurut Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember ini, ada tiga keuntungan jika Presiden Jokowi memilih opsi alternatif ini.
Pertama, KPK tetap dapat bekerja seperti biasanya dengan menggunakan UU KPK yang ada seperti saat ini, yang artinya aspirasi sebagian besar publik kepada Presiden Jokowi terpenuhi.
Dengan aspirasi publik terpenuhi, situasi nasional akan kembali kondusif.
"Kedua, relasi Presiden dan DPR dalam proses legislasi tetap terjaga karena Presiden bukan membatalkan melainkan hanya menangguhkan dan kemudian mengajak DPR sesuai dengan prosedur pembentukan UU yang semestinya untuk duduk kembali membahas perubahan atas UU KPK yang telah diubah ini," katanya.
Dengan masa penangguhan ini, Bayu meyakini pembahasan perubahan UU KPK dapat dilakukan secara komprehensif, seksama, cermat, hati-hati dan partisipatif dengan melibatkan banyak pihak.
Baca: Waspadai Terorisme Jelang Pelantikan Jokowi-Maruf
"Pembahasan secara partisipatif ini akan menghasilkan kesepakatan nasional mengenai pasal mana dalam UU KPK yang tetap perlu dipertahankan dan mana-mana yang perlu dilakukan perubahan," ungkap Bayu.
Ketiga, kewibawaan presiden dalam proses legislasi bisa terjaga mengingat presiden bukan berubah sikap secara mendadak atas apa yang telah diputuskannya bersama DPR melainkan hanya menangguhkan dan kemudian menggantinya dengan proses legislasi secara normal.
"Relasi presiden dengan Parpol di DPR juga dapat tetap terjaga karena presiden tidak mengambil keputusan sepihak atas permasalahan revisi UU KPK ini," ungkapnya. (Dylan Aprialdo Rachman)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Pakar: Presiden Bisa Terbitkan Perppu Penangguhan UU KPK Hasil Revisi
Pendapat lain soal urgensi Perppu terhadap UU KPK hasil revisi
Kamis (3/10/2019) Kemarin, Policy Center Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) menggelar diskusi bertajuk 'Menimbang Urgensi Perppu UU KPK'.
Para pembicara pun memberikan pandangannya tentang urgensi penerbitan Perppu KPK.
pendiri Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Universitas Indonesia, Junaedi menyarankan Presiden dalam menerbitkan perppu lebih baik menentukan dulu status RUU yang sudah ditetapkan dalam sidang paripurna tanggal 17 September 2019.
"Apakah RUU yang sudah disahkan dalam sidang paripurna itu akan ditandatangani dan diundangkan dalam waktu dell’atleta atau akan dibiarkan berlaku otomatis?" katanya.
Kedua, Junaedi menilai hal tersebut mesti ditegaskan sebelum langkah Perppu
diambil.
Karena hal ini untuk menghindari keberlakuan UU yang sama dan saling berbenturan.
Baca: Kegalauan Presiden Jokowi Keluarkan Perppu Cabut UU KPK, Ancaman Parpol hingga Ultimatum Mahasiswa
Jika itu terjadi, maka akan berlaku lex posteriori derogat legi priori atau UU yang berlaku belakangan
mengesampingkan UU yg telah berlaku.
Jika memang Perppu KPK diterbitkan, lanjut Junaedi, maka konten perubahan dalam Perppu di antaranya
adalah:
Pertama: Mengembalikan posisi extraordinary dari KPK.
Kedua: Menghapuskan wewenang penerbitan SP3 dari KPK.
Ketiga: Pembenahan struktur KPK di mana Dewan Pengawas tidak diperlukan
perannya dalam pro justitia.
Dewan Pengawas bisa menggantikan tim penasihat KPK, sehingga tetap berperan dalam pengawasan dan kepatuhan internal secara keorganisasian, melalui pembentukan kedeputian bidang pengawasan dan kepatuhan internal.
Keempat: Perbaikan sistem pengelolaan SDM di KPK, di mana Sumber SDM tidak dibatasi.
Saran agar Presiden Jokowi menerbitkan Perppu terbatas juga dibahas dalam diskusi ini.
Dosen Hukum Pidana dari Universitas Indonesia Chudry Sitompul mengatakan Perppu terbatas tersebut harus memenuhi beberapa unsur ini jika akan diterbitkan.
Pertama: Dewan Pengawas kewenangannya tidak pro justitia. Lebih ke
pengawasan internal KPK, seperti komisi atau dewan etik.
Kedua: terkait penyadapan, sebaiknya tidak perlu ada permintaan izin. Cukup pemberitahuan saja. Penyadapan hanya diperlukan di tingkatan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Sementara itu, Andre Rahadian selaku Ketua Umum ILUNI UI menyampaikan sebaiknya Presiden Jokowi
mempertimbangkan mengeluarkan Perppu.
Baca: Mahfud MD Minta Semua Pihak Tunggu Keputusan Presiden Jokowi Terkait UU KPK
Dengan mengeluarkan Perppu, Presiden Jokowi menjawab keresahan publik dengan gelombang aksi di berbagai kota di Indonesia.
Bagaimanapun, katanya, keresahan publik ini perlu direspon dengan tepat oleh presiden Jokowi.
Mengeluarkan Perppu, pembatalan atau revisi terbatas, bisa menjadi salah satu opsi.
Jika ada elemen masyarakat yang mengajukan judicial review, lanjut Andre, ini juga satu opsi di mana
usaha tersebut berjalan paralel dan tidak tergantung kepada Presiden dan DPR RI yang kemarin sudah
menyetujui pengesahan revisi UU KPK.
Penguatan pemberantasan korupsi adalah salah satu janji kampanye Presiden Jokowi yang dinanti oleh
rakyat.
Jokowi dihadapkan dengan pilihan yang tak mudah
Herzaky Mahendra Putra, pengamat politik dari Manilka Research menambahkan, pilihan yang mesti ditempuh Jokowi saat ini tidak mudah.
Jika tidak ingin dianggap mengkhianati reformasi dan tidak pro pemberantasan korupsi, Jokowi sebaiknya segera mengeluarkan Perppu KPK.
Baca: Prabowo Konsultasi ke Megawati, Ini Kata Surya Paloh
Arus besar elemen-elemen masyarakat sipil yang sebagian besar merupakan pendukungnya di pilpres kemarin, menginginkan Jokowi membatalkan pengesahan revisi KPK dengan mengeluarkan Perppu.
Di sisi lain, dengan mengeluarkan Perppu, Jokowi kemungkinan besar akan berhadapan dengan koalisi parpol pendukungnya.
"Ada sinyal-sinyal yang sudah diberikan beberapa parpol pendukungnya, yang menolak Jokowi mengeluarkan Perppu," katanya.
Kondisi seperti ini merupakan hambatan bagi Jokowi, karena perppu-nya bisa batal jika tidak mendapatkan dukungan politik dari parlemen.
Di sinilah publik menanti, lanjut Herzaky.
Baca: 3 Isu Soal Novel Baswedan yang Diklarifikasi KPK, Foto dengan Anies Baswedan hingga Foto di Bandara
Jokowi bakal lebih mengutamakan dukungan arus bawah, atau malah memprioritaskan dukungan elit.
"Langkah kuda Jokowi ditunggu, bagaimana dia bisa lepas dari pusaran konflik ini," tuturnya.