SETARA Institute Lihat Kecenderungan Politisi Goda Anggota TNI Aktif Untuk Berpolitik Praktis
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani melihat adanya kecenderungan politisi menggoda anggota TNI aktif terlibat dalam politik praktis.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani melihat adanya kecenderungan politisi menggoda anggota TNI aktif terlibat dalam politik praktis.
Diketahui Undang-Undang TNI sudah dengan tegas mengatur anggota TNI aktif dilarang terlibat politik praktis.
Ia menjelaskan sejumlah indikator kecenderungan tersebut dengan adanya sejumlah perwira aktif TNI menyatakan diri maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di beberapa daerah.
Indikator lainnya, muncul wacana sejumlah perwira aktif TNI yang juga digadang-gadang akan mengikuti Pemilihan Presiden (Pilpres).
Baca: Dua Napi Ditetapkan jadi Tersangka Otak Pembakaran Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Palu
Baca: Tompi Beri Peringatan Tegas Soal Unggahan Video Korban Dugaan Malpraktik, Ini Tanggapan Hotman Paris
Meski begitu, menurutnya harus diakui satu di antara penyebab perwira aktif TNI didorong masuk ke dunia politik karena masyarakat Indonesia yang masih sangat mencintai TNI.
"Karena itu, TNI bisa jadi pengumpul suara yang efektif. Memang aktor keamanan masih menjadi idola masyarakat kita. Godaan-godaan dari politisi kita hari ini yang sangat pragmatis ya tentu saja mereka akan memilih calon yang berpotensial menang," kata Ismail di Kantor SETARA Institute Jakarta Selatan pada Selasa (8/10/2019).
Ia menilai, kecenderungan tersebut menunjukan adanya kemunduran dalam agenda reformasi TNI jika mengacu pada tujuh mandat reformasi TNI yang melarang anggota TNI aktif berpolitik praktis.
Untuk itu, menurutnya perlu diatur tidak hanya dalam Undang-Undang TNI melainkan juga Undang-Undang Pilkada.
Baca: Masyarakat Adat Sihaporas Mengadukan Permasalahan Lahan Kepada Partai NasDem
"Kalaupun mau, ini mumpung ada revisi UU Pilkada. Selain membatasi koruptor, batasi saja TNI dan Polri," katanya.
Menurutnya harus diatur bagi anggota TNI yang akan mencalonkan diri menjadi kepala daerah minimal sudah non-aktif sebagai anggota selama dua tahun.
Baca: Masyarakat Adat Sihaporas Mengadukan Permasalahan Lahan Kepada Partai NasDem
"Kenapa dua tahun? Itu batas yang wajar dia tidak lagi punya jejaring yang efektif pada RNI, sekalipun tetep korps-korps mereka kan sangat kuat. Tetapi menurut batasan yang wajar itu bisa memutus netralitas lah kira-kira begitu," kata Ismail.
Reformasi TNI tidak boleh berakhir
Menanggapi pernyataan Pengamat Pertahanan Andi Widjajanto yang menyatakan agenda refoemasi TNI telah tuntas sejak 2014, Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani menilai agenda reformasi TNI yang muncul sejak 1998 tidak boleh berakhir.