Petinggi Rohde and Schwarz Merasa Diperalat Fayakun di Kasus Suap Bakamla
Erwin Sya'af Arief didakwa telah bersama dengan Fahmi Darmawansyah dan PT Merial Esa memberi atau menjanjikan sesuatu berupa uang Rp 12 miliar
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa Erwin Syaaf Arief, Managing Director PT Rohde and Schwarz Indonesia, melalui Ardy Susanto, selaku penasihat hukum, membantah terlibat suap pengadaan alat satelit monitoring dan drone di Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Menurut dia, Fayakhun Andriadi telah memperalat Erwin Syaaf Arief, sehingga terjerat kasus hukum tersebut.
"Tuduhan Fayakhun bahwa Erwin memberikan dan menjanjikan sejumlah dana sangat tidak berdasar dan tidak ada faktanya. Yang ada Fayakhun memperalat Erwin Arief," kata Ardy, ditemui di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (9/10/2019).
Dia menjelaskan, Fayakhun meneruskan atau memforward pesan melalui aplikasi Whats App (WA) kepada Fahmi Darmawansyah melalui Adami Okta, yang ternyata isi pesan itu meminta sejumlah uang yang sudah disepakati sebelumnya.
Sehingga, dia menegaskan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK tidak cukup alasan menjadikan Erwin Arief sebagai terpidana. Hal ini karena, Erwin hanya meneruskan pesan WA dan tidak mempunyai niat mendapatkan keuntungan.
"Yang ada hanya karena dalam pesan tersebut Erwin mendapat instruksi untuk meneruskan pesan kepada Fahmi Darmawansyah. Sehingga mens rea ada pada pembuat pesan, bukan pada yang disuruh meneruskan pesan," kata dia.
Dia mengaku kliennya sudah secara terbuka mengungkapkan fakta-fakta persidangan, pada saat sidang agenda pembuktian, pemeriksaan terdakwa, maupun dalam enam persidangan sebelumnya dimana Erwin menjadi saksi dan keterangan di bawah sumpah.
"Kami berharap, semoga peradilan ini tidak menghukum orang yang tidak bersalah hanya karena keterangan dari seorang Fayakhun Andriadi dan mengabaikan fakta-fakta dan keterangan-keterangan dari Fahmi, Adami dan saksi-saksi lainnya," ujarnya.
Selain itu, dia berharap agar hakim mempertimbangkan untuk menetapkan Erwin sebagai Justice Collaborator (JC). Upaya penetapan JC itu dinilai perlu karena, Erwin telah membantu membongkar perkara selama menjadi saksi pada enam perkara lainnya dalam kaitan operasi tangkap tangan (OTT) di Bakamla.
Sebelumnya, pada persidangan Senin (7/10/2019) kemarin, Erwin Syaaf Arief, menjalani persidangan beragenda pembelaan. Dia mengaku tidak pernah mengetahui maupun terlibat urusan anggaran antara Fahmi Darmawansyah dengan Fayakhun Andriadi bersama Fahmi Al Habsyi dan Bakamla.
"Saya sama sekali tidak pernah menjanjikan ataupun memberikan sejumlah uang kepada Fayakhun Andriadi seperti yang dituduhkan. Hal ini sesuai keterangan saksi Fahmi Darmawansyah dan M. Adami Okta di bawah sumpah dalam persidangan ini," kata dia.
Baca: Pimpinan DPR Lantik Pengganti Terpidana Korupsi, Fayakhun
Dia menegaskan tuduhan tindakan gratifikasi terhadap pejabat negara, yaitu Fayakhun sangat tidak layak. Sebab di fakta persidangan dan bukti percakapan WA, dia maupun saksi lainnya yang telah disita KPK, terungkap dia tidak mengetahui besaran biaya yang diminta Fayakhun dan yang dijanjikan Fahmi Darmawansyah kepada Fayakhun ataupun yang dijanjikan Fahmi Al Habsyi.
"Perlu saya tegaskan dalam kesempatan ini, bahwa saya tidak pernah memberikan janji kepada Fayakhun Andriadi untuk membantu maupun mensupport karir politiknya," tambahnya.
Untuk diketahui, Erwin Sya'af Arief didakwa telah bersama dengan Fahmi Darmawansyah dan PT Merial Esa memberi atau menjanjikan sesuatu berupa uang sebesar USD 911.480 atau Rp 12 miliar dari PT Merial Esa (perusahaan milik Fahmi) kepada Fayakhun Andriadi selaku anggota Komisi I DPR RI periode 2014-2019.
Pemberian uang suap tersebut bertujuan agar Fayakhun mengupayakan penambahan anggaran Bakamla untuk pengadaan proyek satelit monitoring dan drone dalam APBN Perubahan 2016. Proyek ini akan dikerjakan PT Merial Esa selaku agen dari PT Rohde and Schwarz Indonesia.
JPU pada KPK menyatakan terdakwa Erwin Sya’af Arief terbukti melakukan tindak pidana sebagimana diatur dan diancam dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
JPU menuntut Erwin dijatuhi pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan ditambah denda sebesar Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan.