Pengamat Jelaskan 5 Persoalan yang akan Muncul Jika Antarmenteri Saling Debat di Ruang Publik
"Oleh sebab itu, para menteri tidak punya opsi lain kecuali wajib menaati perintah tersebut," ujar pengamat politik Said Salahudin
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar para menteri tidak berdebat di ruang publik adalah sebuah perintah, bukan sekadar imbauan.
"Oleh sebab itu, para menteri tidak punya opsi lain kecuali wajib menaati perintah tersebut," ujar pengamat politik Said Salahudin kepada Tribunnews.com, Kamis (24/10/2019).
Baca: Yohana Yembise Ungkap Kedekatannya dengan Menteri PPPA yang Baru
Sebagai pemimpin tertinggi cabang kekuasaan eksekutif, Presiden berwenang memberikan perintah kepada para menterinya.
Sebab apapun kebijakan yang diambil oleh para menteri akan dianggap sebagai kebijakan Presiden.
Baik atau buruk, benar atau salah, kebijakan menteri pasti memiliki dampak terhadap diri Presiden.
Bahkan pada ujungnya segala kebijakan para menteri itu harus dipertanggungjawabkan oleh Presiden. Begitu kaidahnya dalam sistem pemerintahan presidensial.
Oleh sebab itu, dia menagatakan, Presiden pantas melarang para menterinya untuk berdebat atau meributkan suatu kebijakan yang telah diputuskan, termasuk terhadap keputusan yang telah ditetapkan Presiden bersama para menteri didalam rapat paripurna, rapat terbatas, atau rapat-rapat internal lainnya dilingkungan eksekutif.
Jadi, selain wajib hukumnya bagi para menteri untuk melaksanakan setiap keputusan yang telah diambil, mereka juga terlarang untuk bersuara lain di hadapan publik.
Dia melihat perbedaan pendapat di antara para menteri di muka publik dapat memunculkan setidaknya lima potensi persoalan.
Pertama, perbedaan pandangan diantara para menteri dapat menimbulkan kecurigaan bahwa menteri bersangkutan memiliki visi dan misi sendiri-sendiri.
"Padahal, dalam Kabinet Indonesia Maju tidak ada visi dan misi menteri, kecuali hanya ada visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden," tegas Direktur Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (Sigma) ini.
Kedua, para menteri dapat dianggap gagal memahami visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden.
Ketiga, para menteri dapat dinilai tidak tanggap atau tidak mampu menangkap kehendak Presiden. Keempat, munculnya perbedaan pendapat diantara para menteri dapat dianggap sebagai ketidakmampuan Presiden untuk mengatur pada pembantunya.