Jokowi Disarankan KPK Bentuk Kementerian Pengawasan dan Pengendalian, Ini Alasannya
Agus tidak pesimistis kinerja KPK akan terhenti atas perubahan kedua UU KPK itu. Dia memprediksi, tugas penindakan komisi antirasuah itu dapat berkura
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, SUKABUMI - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengaku, tidak mengetahui persis strategi Presiden Jokowi untuk mengupayakan pemberantasan korupsi di Indonesia, atas diberlakukannya Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan UU KPK.
Namun demikian, Agus tidak pesimistis kinerja KPK akan terhenti atas perubahan kedua UU KPK itu. Dia memprediksi, tugas penindakan komisi antirasuah itu dapat berkurang.
Menurutnya, KPK akan berfokus untuk mendalami kasus korupsi yang menelan kerugian keuangan negara dengan nilai fantastis.
"Bisa saja KPK kemudian lebih dalam, lebih mahir penyelidikannya. Jadi yang dibongkar hanya kasus-kasus yang besar. Bisa saja, jadi mungkin. Mungkin lho ya, OTT-nya dikurangi, tetapi betul-betul mendalami kasus-kasus yang besar yang itu pasti butuh waktu lama," ujar Agus di daerah Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (25/10/2019).
Dia mencontohkan, penanganan kasus besar dengan waktu lama itu seperti kasus Petral, dan kasus Garuda Indonesia.
Menurutnya, kelebihan pengungkapan kasus besar seperti itu dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang lebih banyak.
Namun demikian, hal itu dapat berdampak tugas penindakan KPK akan berkurang.
Kendati demikian, Agus menyarankan kepada pemerintah untuk dapat menginisiasi instansi negara baru jika arah pemberantasan korupsi ingin fokus dalam hal pencegahan.
"Bayangan saya ya ini, dibentuk yang namanya menteri pengawasan dan pengendalian, mestinya. (Instasi) itu dapat bongkar (sistem) ke mana-mana. Supaya sistem-sistem itu segera ada, supaya sistem itu berjalan," ucap Agus.
Menurutnya, instasi tersebut dapat menyelaraskan janji Jokowi untuk membuat sistem pelayanan secara elektronik guna mewujudkan transparansi kepada masyarakat.
"Kalau anda liat hari ini ya, kan janjinya pak Jokowi saat jadi presiden kan, e-planning dan e-budgeting. Sekarang yang dilakukan mana? belum ada. hanya secara sporadis seperti di Surabaya dan DKI Jakarta," katanya.
Terlebih, penerapan sistem di dua kota itu masih jauh dengan negara lain yang juga menerapkan sistem terasbut.
Hal itu ditenggerai karena masih minimnya transparasi anggaran dan rencana sejumlah instasi di Indonesia.
"Karena pengalaman banyak negara yan terapkan itu, kalau terapkan e-planning dan e-budgeting anggarannya itu detil, dan rakyat semuanya tahu. Kita kan belum sampai ke sana ya," ujar dia.