KPK Telisik Suap Imam Nahrawi Lewat Istrinya
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa istri mantan Menpora Imam Nahrawi, Shobibah Rohmah.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa istri mantan Menpora Imam Nahrawi, Shobibah Rohmah.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, Shobibah dimintai keterangan untuk tersangka asisten pribadi Imam, Miftahul Ulum.
"Yang bersangkutan diperiksa untuk tersangka Miftahul Ulum. Penyidik mendalami terkait apa yang diketahui saksi (istri Imam) tentang tersangka Ulum dan hubungannya dengan tersangka Imam Nahrawi," ujar Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (24/10/2019).
Baca: Prabowo Masuk Kabinet, Mahfud MD Singgung Soal Sumpah dan Kecairan: Rasanya Hubungan Tuh Enak
Imam Nahrawi bersama Miftahul Ulum ditetapkan tersangka terkait kasus suap dana hibah KONI.
Melalui Shobibah, komisi menelusuri interaksi kedua tersangka sehubungan dugaan penerimaan suap.
"Penyidik fokusnya mendalami pengetahuan dari saksi terkait interaksi kedua tersangka karena dalam kasus suap ini kami menduga perbuatan dilakukan bersama-sama," kata Febri.
Usai diperiksa sekira 4,5 jam, Shobibah menolak berkomentar soal pemeriksaannya.
Baca: Barcelona Berhasil Kalahkan Slavia Praha tapi Masih Dibilang Kurang Bagus Oleh Marc-Andre ter Stegen
Ia mengatakan sempat menjenguk Imam Nahrawi dan menyebut mantan Menpora itu dalam keadaan sehat.
"Mohon maaf ya (tidak bisa berkomentar). Mohon doanya saja buat Bapak (Imam Nahrawi) ya. Terima kasih," ucap Shobibah usai pemeriksaan menjalani pemeriksaan.
Ia keluar gedung KPK pukul 18.32 WIB.
Baca: Alasan Jokowi Kemabali Tunjuk Yasonna Laoly Jadi Menteri Hukum dan HAM
Dalam kasus ini, Imam ditetapkan sebagai tersangka bersama asisten pribadinya, Miftahul Ulum, berdasarkan pengembangan kasus dana hibah Kemenpora ke KONI tahun 2018.
Imam diduga menerima total Rp26,5 miliar dengan rincian Rp14,7 miliar dari suap dana hibah Kemenpora ke KONI, dan penerimaan gratifikasi Rp11,8 miliar dari sejumlah pihak dalam rentang 2016-2018.
Penerimaan Imam Nahrawi diduga merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan oleh pihak KONI kepada Kemenpora.
Selain itu, penerimaan uang terkait dengan Ketua Dewan Pengarah Satlak Prima dan penerimaan lain yang berhubungan dengan jabatan Imam Nahrawi saat menjadi Menpora.
Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Menpora dan pihak Iain. Saat ini, Imam dan Ulum telah ditahan KPK.
Keduanya disangka melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 12 huruf B atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sebelumnya, KPK sudah lebih dahulu menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus ini.
Kelima orang tersebut terjaring operasi tangkap tangan tim penindakan pada 18 Desember 2018.
Mereka adalah Deputi IV Kemenpora Mulyana, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Kemenpora Adhi Purnomo, Staf Kemenpora Eko Triyanto, Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, dan Bendahara Umum KONI Jhony E Awuy.
Tak gentar
Sesuai dengan penundaan yang disampaikan hakim Selasa (22/10/2019) ini, maka direncanakan sidang praperadilan yang diajukan eks Menpora Imam Nahrawi (IMR) akan dilakukan pada Senin, November 2019.
Saat ini, dikatakan Juru Bicara KPK Febri Diansyah, pihaknya sedang mempelajari permohonan praperadilan yang diajukan Imam Nahrawi.
"Pada prinsipnya tentu kami akan menghadapi dan juga meyakini bahwa sejak awal kasus ini memang didasarkan pada bukti yang kuat. Bahkan penetapan IMR sebagai tersangka merupakan pengembangan lebih lanjut dari OTT di Kemenpora dan fakta-fakta yang muncul di persidangan," kata Febri kepada wartawan, Selasa (22/10/2019).
Sekadar info, ada beberapa poin yang diajukan Imam Nahrawi untuk melawan KPK.
Pertama, Imam menggugat penetapan tersangka terhadap dirinya tidak melalui proses penyidikan dan dia mengatakan tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka dalam proses penyidikan tersebut.
Kedua, proses penyelidikan KPK sangat pendek, yaitu hanya 4 hari yang dihitung dari tanggal LKTPK 22 Agustus 2019 dan penerbitan Surat Perintah Penyidikan pada 28 Agustus 2019 dan penerbitan SPDP dilakukan 1 hari kemudian, yaitu 29 Agustus 2019.
Ketiga, menurut Tersangka Imam, proses penyidikan tersebut sangat cepat dan dia merasa tidak pernah diperiksa.
Keempat, Imam juga menyebut prestasi yang dicapai saat penyelenggaraan Asian Games, Asian Para Games, dan Olimpiade Internasional Rio De Janeiro di Brazil tahun 2016 dengan segala medali yang didapatkan.
Baca: Pemohon Lakukan Perbaikan Uji Materi UU KPK
Keempat, menurut Imam, penetapan tersangka tidak jelas karena tuduhan suap yang diberikan KPK melebihi jumlah kekayaan yang ia laporkan di LHKPN.
Kelima, Imam juga mengakui tidak bisa memenuhi tiga kali panggilan dalam penyelidikan KPK, yaitu 31 Juli 2019, 2 Agustus 2019 dan 21 Agustus 2019.
Keenam, penahanan yang dilakukan KPK tidak sah karena pimpinan KPK telah 'menyerahkan mandat' pada Presiden Joko Widodo.
Kata Febri, sebagian besar alasan yang diajukan oleh Imam sudah cukup sering digunakan para pemohon praperadilan lain, sehingga sebenarnya relatif tidak ada argumentasi baru.
"Seperti alasan yang hanya mengacu pada KUHAP bahwa penetapan tersangka seharusnya dilakukan pada tahap penyidikan, sehingga pemeriksaan yang bersangkutan sebagai calon tersangka semestinya dilakukan di penyidikan," katanya.
Febri juga menyebut alasan semacam itu sudah sering ditolak hakim. Karena memang UU KPK mengatur secara khusus, bahwa sejak proses penyelidikan, KPK sudah mencari alat bukti. Sehingga ketika ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka pada saat penyidikan dimulai sekaligus dapat dilakukan penetapan tersangka.
Sedangkan, imbuh Febri, terkait dengan penyelidikan yang prosesnya hanya 4 hari, tampaknya, menurut Febri, Imam salah memahami makna LKTPK seolah-olah itu adalah surat perintah penyelidikan.
"KPK telah melakukan penyelidikan sejak 25 Juni 2019, dan selama penyelidikan itu sudah dilakukan pemanggilan 3 kali terhadap IMR, namun yang bersangkutan tidak datang karena berbagai alasan," ujar dia.
Sehingga, Febri menggarisbawahi, begitu KPK mendapatkan bukti permulaan yang cukup atau minimal 2 alat bukti, sesuai Pasal 44 UU KPK, maka dapat dilakukan penyidikan.
"Jika frasa bukti permulaan yang cukup tersebut dihubungkan dengan ketentuan pada Pasal 1 angka 14 KUHAP yang mengatur definisi tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, maka sejak proses penyidikan, karena telah ditemukan bukti permulaan yang cukup, sekaligus dapat ditetapkan tersangka," dia menjelaskan.
Kendati demikian, kata Febri, ketentuan yang bersifat khusus ini memang seringkali tidak dipahami secara tepat sehingga para pemohon berulang kali menggunakan argumentasi tersebut.
Sedangkan terkait penahanan yang dihubungkan dengan 'penyerahan mandat', KPK telah menegaskan bahwa pimpinan KPK tetap bertugas sesuai dengan Keputusan Presiden sampai dengan 21 Desember 2019 ini. Dan sampai saat ini tidak ada Keputusan Presiden Jokowi tentang pemberhentian pimpinan KPK.
"Proses penyidikan perkara ini terus berlanjut, dan secara paralel sudah ditugaskan tim dari biro hukum KPK untuk menghadapi praperadilan ini. Kami meyakini proses formil yang dilakukan KPK ataupun bukti substansi yang kami miliki kuat untuk terus melakukan penyidikan dan proses lanjutan," kata Febri.