BPJS Naik, Apakah Jaminan Pelayanan Akan Meningkat?
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Ada yang mendukung dan ada pula yang merasa terbebani
Penulis: Muhammad Nur Wahid Rizqy
Editor: Miftah
“Akar masalahnya apakah disini, root problemnya itu dimana? Karena kita sudah membaca audit dari BPKP itu, banyak persoalan sebenarnya tidak hanya soal permasalahan besaran iuranya,” imbuhnya.
Penolakan terhadap kenaikan iuran BPJS juga disampaikan oleh kordinator BPJS Watch, Indra Munaswar.
Ia meminta pemerintah mengkaji kenaikan tersebut.
Bagi BPJS Watch, seharusnya kerugian yang dialami oleh BPJS Kesehatan tidak dibebankan kepada peserta.
“Ketika para masyarakat ada yang tidak mampu membayar karena iuran yang diterimanya lebih kecil daripada manfaat yang harus dibayarkan, maka sesungguhnya tidak bisa berbuat apa-apa BPJS itu. Kami tidak setuju kalau itu dikenakan kepada peserta, karena pada dasarnya itu hak, bukan kewajiban,” ujar Indra Munaswar.
Indra juga menambahkan, tidak selayaknya semua itu dibebankan kepada masyarakat yang tidak bisa membayar iuran.
“Kewajiban jangan diartikan ketika ada masyarakat yang tidak bayar, lantas diberikan hukuman. Ini kan masyarakat banyak, sesungguhnya masyarakat-masyarakat yang mampu menjadi mandiri, sesungguhnya secara ekonomi dia belum tentu juga dikatakan mampu,” imbuhnya.
Bagi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), kenaikan iuran BPJS Kesehatan bukanlah hal yang utama.
Yang diharapkan adalah bagaimana BPJS Kesehatan sebagai pengelola mampu merespon klaim rumah sakit, termasuk menjalin komunikasi yang selama ini dianggap belum optimal.
“Rumah sakit biasanya saja, persoalan rumah sakit bukan dinaikkan atau tidaknya, tetapi pada responnya, kecepatan, tanggap, verifikasi, dan pembayaranya sesuai dengan klaim rumah sakit,” kata Hermawan Saputra, anggota PERSI.
- Isu Larangan Pakai Celana Cingkrang & Cadar bagi ASN, Kepala BNPT: Bukan Menjurus Pada Radikalisme
- Di Balik Mundurnya 2 Pejabat Pemprov DKI Jakarta di Tengah Polemik RAPBD
Hermawan Saputra juga menegaskan yang menjadi perhatian para pengelola rumah sakit adalah tidak ada alasan bahwa anggaran tidak terpenuhi, atau tidak tersedia.
“Yang menjadi tolak ukur rumah sakit yaitu tidak ada alasan bahwa anggaran tidak dibayar atau tidak tersedia. Jangan mengkambing hitamkan kepada rumah sakit. Sesungguhnya rumah sakit melayani dan untuk kepentingan masyarakat,” imbuhnya.
Sementara, peserta PPU tingkat daerah yakni Kepala dan Wakil Kepala Daerah, pimpinan dan anggota DPRD daerah, PNS daerah, Kepala Desa, Perangkat Desa, dan peserta PPU pekerja swasta, berlaku mulai 1 Januari 2020.
Sementara, peserta PPU tingkat daerah yakni Kepala dan Wakil Kepala Daerah, pimpinan dan anggota DPRD daerah, PNS daerah, Kepala Desa, Perangkat Desa, dan peserta PPU pekerja swasta, berlaku mulai 1 Januari 2020.
Selanjutnya, Iuran untuk kategori peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) naik menjadi Rp 42.000 untuk kelas III, Rp 110.000 untuk kelas II dan sebesar Rp 160.000 untuk kelas I. Kenaikan iuran ini akan berlaku mulai 1 Januari 2020.
(Tribunnews.com/Muhammad Nur Wahid Rizqy)