Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pengamat: Perppu KPK Tidak Diterbitkan, Sinyal Kembali Lahirnya Orde Baru

tidak dikeluarkannya Perppu KPK harus dilihat dalam konteks yang lebih besar, yakni pelemahan pemberantasan korupsi

Penulis: Gita Irawan
Editor: Sanusi
zoom-in Pengamat: Perppu KPK Tidak Diterbitkan, Sinyal Kembali Lahirnya Orde Baru
Tribunnews/JEPRIMA
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana (kiri) bersama Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati (tengah) dan Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indoensia Gita Putri Damayana (kanan) saat memberikan keterangan pers Koalisi Kawal Capim KPK di gedung LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (25/8/2019). Koalisi Kawal Capim KPK menyatakan menemukan adanya potensi konflik kepentingan dari pansel terhadap peserta seleksi, khususnya kepada 20 nama yang lolos seleksi, serta tidak memperdulikan masukan tentang LHKPN dan rekam jejak peserta. Tribunnews/Jeprima 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, menilai tidak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Presiden Joko Widodo adalah sinyal Orde Baru lahir kembali.

Asfinawati mengatakan, tidak dikeluarkannya Perppu KPK harus dilihat dalam konteks yang lebih besar, yakni pelemahan pemberantasan korupsi akibat revisi UU KPK yang telah berlaku.

Baca: Jokowi Beri Waktu Kapolri Idham Azis untuk Mengusut Kasus Novel Baswedan hingga Awal Desember

Baca: Kapolri Diberi Waktu Sebulan untuk Tuntaskan Kasus Novel, ICW: Janji Manis

Dari hal tersebut, Asfinawati mengaitkannya dengan era Orde Baru ketika korupsi marak dilakukan.

"Menurut kami, tidak keluarnya Perppu adalah sebuah lonceng kita kembali ke orde baru atau masuk ke Neo Orba," kata Ketua YLBHI Asfinawati dalam diskusi di kantor ICW, Jakarta, Minggu (3/11/2019).

Tidak hanya itu, Asfinawati menilai pelemahan pemberantasan korupsi hanya satu dari empat ciri khas Orde Baru yang muncul di awal pemerintahan Jokowi-Maruf Amin.

Ciri kedua menurutnya adalah, pemerintah yang hanya fokus kepada pembangunan fisik.

Menurutnya, hal itu juga dapat dilihat dari pidato kenegaraan presiden yang banyak menyebutkan investasi dan pembangunan, tanpa menyebutkan HAM serta kepastian hukum.

BERITA TERKAIT

Selain itu, Asfinawati menilai Jokowi juga banyak memasukkan kalangan militer dan polisi ke dalam lembaga sipil pemerintahan.

Menurutnya hal itu adalah ciri ketiga dari orde baru.

Ia juga menilai pemerintahan Jokowi juga represif terhadap kebebasan berpendapat yang juga menjadi ciri terakhir Orde Baru.

Asfinawati mencontohkan, polisi menangkapi para peserta aksi May Day 2019 tanpa alasan yang jelas.

Selain itu, menurutnya kepolisian juga menggunakan cara represif dalam menangani demonstrasi mahasiswa menolak revisi UU KPK dan sejumlah UU bermasalah pada September 2019.

"Belum lagi kalau kita kaitkan dengan beberapa rancangan UU yang merepresi rakyat, maka sebetulnya ini adalah perulangan yang terjadi sebelum 1998 atau Orde Baru," kata Asfinawati.

Indeks Persepsi Korupsi Anjlok

Peneliti Transparency International Indonesia Agus Sarwono menilai jika Presiden Jokowi tidak menerbitkan Perppu KPK, maka Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia akan anjlok.

Menurutnya pernyataan Jokowi yang menyebutkan akan melantik Dewan Pengawas KPK berbarengan dengan pimpinan KPK terpilih, merupakan sinyal kuat Jokowi tidak akan menerbitkan Perppu KPK untuk Undang-Undang KPK nomor 19/2019.

Baca: Jokowi Beri Waktu Kapolri Idham Azis untuk Mengusut Kasus Novel Baswedan hingga Awal Desember

Baca: Kapolri Diberi Waktu Sebulan untuk Tuntaskan Kasus Novel, ICW: Janji Manis

Baca: Pesan Presiden FIFA untuk PSSI: Semoga Segera Stabil

Menurutnya, hal itu akan berdampak pada menurunnya skor pada aspek penindakan hukum terhadap korupsi di Indonesia, karena Undang-Undang KPK nomor 19/2019 telah memangkas kewenangan penindakan KPK.

"Saya cukup yakin indeks persepsi korupsi kita kedepannya akan anjlok," kata Agus dalam diskusi di kantor ICW Jakarta Selatan, Minggu (3/11/2019).

Menurutnya, menurunnya indeks perspsi korupsi Indonesia akan berdampak langsung pada sisi ekonomi karena pemberantasan korupsi yang baik akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Hal itu mengingat kualitas barang dan jasa yang beredar di masyarakat akan meningkat jika pemberantasan korupsi berjalan baik.

Lebih jauh, ia menilai turunnya indeks perspesi korupsi di Indonesia akan berdampak pada tingkat kepercayaan investasi di Indonesia.

"Sekarang investor agak malas datang ke Indonesia kalau ternyata korupsinya masih sangat besar," kata Agus.

Meski begitu, ia belum bisa memastikan akan seperti apa indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2019 yang kemungkinan akan dirilis pada Januari atau Februari tahun depan.

Meski ia mengatakan bahwa tren indeks persepsi korupsi di Indonesia terus naik selama 15 tahun ke belakang, namun menurutnya kenaikan tersebut tidak signifikan.

"Kalau dilihat dari trennya naik dari 15 tahun terakhir. Tapi titpis-tipis. Naik satu poin satu poin. Era SBY dan Jokowi sama-sama mengalami stagnansi dua kali," kata Agus.

Ia juga mengungkapkan, meski secara global tren Indeks Perspesi Korupsi mengalami stagnansi sejak 2015 namun ia mengingatkan pencapaian Indonesia masih jauh dari target Jokowi pada program Ststegi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK).

"Secara global, sejak di 2015 rata-rata global itu stagnan di angka 43.0 paling buruk, 100 paling buruk. Kalau kita kan 38 tahun kemarin dan di Stranas PK targetnya Jokowi itu 45. Itu sangat jauh," kata Agus.

Tidak Akan Tersinggung

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti yakin sembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tidak akan tersinggung jika Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK.

Sebab, dikeluarkannya Perppu merupakan kebijakan hukum yang berada di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Bivitri Susanti.
Bivitri Susanti. (Danang Triatmojo/Tribunnews.com)

Ia juga menegaskan, Perppu terkait pembatalan terhadap Undang-Undang KPK Nomor 19/2019 dapa dikeluarkan kapan pun dan tidak tergantung dengan proses gugatan masyarakat yang saat ini tengah berlangsung di Mahakamah Konstitusi.

Baca: Kapolri Diberi Waktu Sebulan untuk Tuntaskan Kasus Novel, ICW: Janji Manis

Baca: Pakar Hukum: Jokowi Jangan Pilih Kader Parpol untuk Jadi Dewan Pengawas KPK

Baca: Hari Kedua di Bangkok, Presiden Jokowi Hadiri Pembukaan KTT ke-35 ASEAN

Contoh kongkretnya menurutnya ketika Perppu Ormas yang keluar lima tahun setelah Undang-Undang Ormas jadi Undang Undang.

Untuk itu, ia menilai argumentasi presiden yang tidak mengeluarkan Perppu karena ingin menunggu proses di Mahkamah Konstitusi, adalah keliru, menyesatkan, dan mengada-ada.

Hal itu diungkapkannya dalam diskusi di Kantor ICW Jakarta Selatan pada Minggu (3/11/2019).

"Apakah kemudian ada aspek sopan santun? Tidak juga. Saya yakin seribu persen, sembilan hakim MK tidak akan tersinggung kalau Perppu dikeluarkan. Karena sembilan hakim itu paham betul yang mau dikeluarkan itu, kalau Perppu adalah kebijakan hukum. Sementara MK berbicara soal inkonstitusionalitas dari pasal-pasal. Jadi mau jaga kesopanan apa?" kata Bivitri.

Selain itu menurutnya pernyataan Jokowi tersebut adalah indikasi kuat bahwa Jokowi tidak mendukung pemberantasan korupsi.

Menurutnya hal itu juga tampak ketika Jokowi mengeluarkan surat presiden untuk membahas undang-undang KPK hasil revisi.

Padahal menurutnya, ketika ribuan guru besar dan dosen di seluruh kampus di Indonesia telah mengingatkan bahwa hal itu adalah keliru.

"Tapi ternyata dikeluarkan, jadi sudah jelas siapa sebenarnya yang mau KPK dilemahkan," kata Bivitri.

Tidak hanya itu, menurutnya, apabila Perppu tidak keluar, maka KPK akan menjadi lembaga pencegahan korupsi karena fungsi penindakannya telah dilucuti.

Ia menilai, jika KPK lemah pemberantasan korupsi akan terjun bebas dan indeks pemberantasan akan jeblok.

"Hal itu punya efek kongkrit pada investasi, pada ekonomi, kesejahteraan. Bayangkan betapa banyak alat kesehatan yang kita bisa dapat yang baik dengan standdar tinggi, tapi karena dikorupsi, turun. Kita dapat jalanan yang mungkin 10 tahun tidak akan rusak, dalam dua tahun rusak," kata Bivitri.

sebelumnya, Presiden Joko Widodo memastikan, tidak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mencabut Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi.

Presiden Jokowi beralasan, menghormati proses uji materi UU KPK yang tengah berjalan di Mahkamah Konsitusi.

"Kita melihat, masih ada proses uji materi di MK. Kita harus hargai proses seperti itu," kata Jokowi saat berbincang dengan wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11/2019).

"Jangan ada uji materi ditimpa dengan keputusan yang lain. Saya kira, kita harus tahu sopan santun dalam ketatanegaraan," lanjut dia.

UU KPK hasil revisi ramai-ramai ditolak karena disusun secara terburu-buru tanpa melibatkan masyarakat dan unsur pimpinan KPK.

Isi UU KPK yang baru juga dinilai mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja lembaga antirasuah.

Misalnya KPK yang berstatus lembaga negara dan pegawai KPK yang berstatus ASN dapat mengganggu independensi.

Dibentuknya dewan pengawas dan penyadapan harus seizin dewan pengawas juga bisa mengganggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK.

Kewenangan KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks.

Presiden Jokowi sebelumnya menyatakan, mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu KPK.

Hal itu disampaikan Jokowi usai aksi unjuk rasa besar-besaran menolak UU KPK.

Namun, belakangan rencana penerbitan Perppu itu mendapat penolakan dari parpol pendukung Jokowi-Ma'ruf.

Selanjutnya, setiap kali ditanya soal perkembangan Perppu, Jokowi selalu bungkam. Baru hari ini Jokowi memberi kepastian ia tidak akan menerbitkan Perppu.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas