Mengenal Sosok Artidjo Alkostar, Musuh Koruptor yang Disebut Layak Jadi Dewas KPK
Nama mantan Hakim Agung, Artidjo Alkostar disebut-sebut layak menjadi anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Adi Suhendi
Pria yang tepat pensiun pada Selasa (22/5/2018) ini juga bercerita bagaimana dirinya penah mendapatkan hadiah dari almamater kampusnya, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Bahkan, dia juga pernah mendapat sebuah penghargaan dari salah satu Kampus di Jakarta.
Semua itu jelas ditolaknya.
Baca: Muncul Isu Ahok Jadi Dewan Pengawas KPK di Tengah Maraknya Sorotan Terhadap APBD DKI
"Saya itu kan pernah mau diberi award dari UII dari almamater saya. Saya tolak, saya tolak. Ada juga dari Jakarta, tidak perlu saya sebutkan, memberikan award juga. Saya tolak juga," kata Artidjo.
Hakim yang pernah memutus perkara para koruptor ini membeberkan alasan kenapa menolak semua penghargaan itu.
Artidjo berpendapat, penghargaan seperti itu berpotensi mempengaruhi independensi seorang hakim.
Tak hanya itu, julukan atau penobatan verbal pun dia tolak demi independensi.
"Hakim itu harus bebas dari harapan-harapan yang berpotensi untuk mempengaruhi independensi. Penghargaan ini, sebutan ini. Jadi, harus bersih, harus independen," kata Artidjo.
Pengalaman Paling Berkesan
Artidjo teringat saat awal menjabat mendapatkan tugas untuk menangani kasus dugaan korupsi Presiden kedua RI Soeharto.
Meski saat itu masih menjabat hakim anggota, dia merasa hal itu merupakan pengalaman yang sangat berkesan.
Hal itu disampaikan Artidjo saat sesi wawancara dengan awak media di media center Mahkamah Agung, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (25/5/2018).
"Waktu awal saya menjadi hakim agung tahun 2000-an saya pernah menangani perkara Presiden Soeharto. Waktu itu presiden Soeharto sakit, lalu ketua majelisnya itu Pak Syafiuddin (Kartasasmita) yang ditembak, kena tembak," kata Artidjo.
"Saya menjadi salah satu anggotanya dan waktu itu dianukan karena opini publik supaya berkas itu dikembalikan tetapi keputusan di majelis karena Pak Soeharto itu harus tetap diadili tersebut dengan diakhirkan. Jadi ada argumentasi yuridisnya itu, dan publik saya kira menyambut baik," tambahnya.