Pernah Jadi Narapidana, Bolehkah Ahok Jadi Bos BUMN? Cek Undang-undangnya
Basuki Tjahaja Purnama atau yang kerap disapa Ahok, disebut-sebut akan menjadi salah satu pimpinan atau bos di salah satu BUMN.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Basuki Tjahaja Purnama atau yang kerap disapa Ahok, disebut-sebut akan menjadi salah satu pimpinan atau bos di salah satu BUMN.
Hal itu pun juga dibenarkan oleh Presiden Joko Widodo.
"Kita tahu kinerjanya Pak Ahok. Jadi, ini masih dalam proses seleksi," kata Jokowi seperti dikutip Kompas.com, Kamis (14/11/2019).
Menilik ke belakang, pada 9 Mei 2017, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis 2 tahun kepada mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Baca: Bakal Jadi Bos BUMN, Ahok Diminta Kontrol Emosi serta Tak Banyak Bicara di Depan Media
Baca: Lucky Sandra Sebut Ahok Perlu Jabatan untuk Bersihkan BUMN: Ada Mafia yang Kuat di Situ
Ahok terbukti secara sah dan menyakinkan telah melakukan tindak pidana penodaan agama.
Ahok pun akhirnya ditahan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.
Lantas, apakah bisa seorang mantan napi menjadi bos di perusahaan pelat merah?
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rahman mengatakan status Ahok sebagai mantan terpidana kasus penodaan agama tak menjadi halangan.
Calon Direksi
Menurut dia, yang terpenting Ahok tak pernah menjadi terpidana kasus dugaan korupsi.
"Jadi kalau mau masuk BUMN bersih, di dalam bersih-bersih dan keluar bersih. Begitu saja," ujarnya sebagaimana diberitakan Kompas.com (14/11/2019).
Sementara itu, mengacu UU No. 19/2003 tentang BUMN pasal 45 ayat (1), juga tidak ada persoalan terkait status mantan napi yang menjadi bos atau pimpinan di BUMN.
Berikut bunyi pasal tersebut:
"Yang dapat diangkat sebagai anggota Direksi adalah orang perseorangan yang mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan atau Perum dinyatakan pailit atau orang yang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara".