Kesetiaan Sumarsih dalam Keheningan Aksi Kamisan di Depan Istana Negara
Sepanjang aksi, mereka hanya diam dalam kesunyian, tanpa kata. Meski aksi diam, Kamisan selalu mendapat penjagaan dari anggota Polri berseragam.
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berkaos dan berpayung hitam, sosok Maria Sumarsih selalu hadir setiap aksi Kamisan.
Bersama keluarga korban penembakan, aktivis dan mahasiswa, Sumarsih berdiri menghadap Istana Negara.
Sepanjang aksi, mereka hanya diam dalam kesunyian, tanpa kata. Meski aksi diam, Kamisan selalu mendapat penjagaan dari anggota Polri berseragam.
Mereka berdiri membentuk barisan. Membelakangi Istana Negara, berdiri tegap berhadapan dengan massa Kamisan.
Aksi Kamisan (14/11/2019) kemarin merupakan aksi ke-610 yang berlangsung sejak 19 April 2007. Aksi ini terbuka bagi siapa pun yang peduli dengan keadilan kasus pelanggaran HAM di tanah air.
Meski seluruh rambutnya sudah putih, Sumarsih tetap berharap adanya keadilan, meneruskan perjuangan sang anak, Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa Atma Jaya, Jakarta.
Baca: Pengemudi Ojek Online Tidak Bisa Masuk Area Dalam Istana
Baca: Cerita Siti Jauharoh Menjadi Juru Ketik Saat Abdul Kahar Mudzakkir Terjemahkan Buku Berbahasa Arab
Anak sulung Sumarsih itu tewas diterjang peluru tajam dalam tragedi Semanggi 1, Jumat (13/11/1998). Dia sangat menginginkan kasus yang menewaskan sang anak diselesaikan di Pengadilan HAM ad hoc.
"Harapan saya, Pak Jaksa Agung yang baru memikirkan penyelesaian tragedi penembakan para mahasiswa yang sudah diselidiki Komnas HAM," ujarnya saat ditemui di sebrang Istana, Kamis (14/11/2019) di aksi Kamisan ke-610.
"Kamisan tidak pernah putus. Saya akan mengambil agenda reformasi yang ketiga yaitu tegakkan supremasi hukum. Barometernya kalau negara berani menggelar pengadilan HAM ad hoc Semanggi I, II dan Trisaksi. Selama tidak berani, pengulangan kejadian kekerasan akan terus terjadi," tuturnya lagi.
Baca: Alasan Jokowi Kemabali Tunjuk Yasonna Laoly Jadi Menteri Hukum dan HAM
Baca: Ditunjuk Jadi Calon Wakil Menteri ATR, Siapa Surya Tjandra? Terungkap Punya Jabatan Penting di AS
Sumarsi berpendapat ketika negara ini tidak berdaya untuk menyeret para pelanggar HAM, kekerasan akan berulang.
Itulah mengapa Sumarsih dan kawan-kawannya getol menuntut penyelesaian kasus HAM. Orang yang bersalah harus berani duduk di meja pengadilan.
Lantas bekal apa yang dibawa Sumarsih agar tetap kuat berdiri mengikuti aksi Kamisan? Rupanya, Sumarsih tidak pernah mengantongi makanan ringan baik biskuit maupun roti untuk mengganjal perutnya ketika lapar.
"Saya tidak pernah bawa bekal. Hanya bawa air minum. Saat kami aksi diam, kami selalu beritahu kalau kami ini tidak punya uang. Yang tidak tahan lapas bawa uang, yang tidak tahan haus bawa minum," ungkap Sumarsih yang sempat menunjukkan botol air minumnya berwarna biru dongker.
Bekal yang selalu dibawanya dari rumah ialah niat. Selama lebih dari dua tahun mengikuti Kamisan, jujur, Sumarsih sempat merasakan lelah dan putus asa.
"Lelah iya, putus asa iya. Tapi ketika sikap saya ini, niat saya ini dasarnya adalah cinta. Cinta itu didalamnya ada semangat dan harapan untuk keadilan," imbuhnya.
Sumarsih menyatakan suatu ketika, pernah terjadi aksi Kamisan dihandel sepenuhnya oleh dia dan keluarga. Saat itu, Sumarsih sendiri yang membuat draf surat untuk presiden.
Lanjut sang suami yang mengedit sementara anak keduanya, adik Wawan bertugas membuat rilis dan disebar ke awak media.
"Pernah aksi Kamisan ditangani keluarga Wawan. Saya buat draf surat ke presiden. Bapaknya Wawan yang ngedit dan Irma (adik Wawan) yang buat rilis. Sejak aksi kamisan ke-500, dievaluasi dan ada pembagian tugas dengan Kontras, LBH Jakarta sampai Amnesty," tambahnya.