Aset First Travel Tidak Dikembalikan ke Korban, Ahli Hukum: Seharusnya Dikembalikan ke Korporasi
Abdul Fickar Hadjar mengatakan aset milik First Travel yang disita seharusnya dikembalikan ke badan usaha, yakni First Travel.
Penulis: Febia Rosada Fitrianum
Editor: bunga pradipta p
TRIBUNNEWS.COM - Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan aset milik First Travel yang disita seharusnya dikembalikan ke badan usaha.
Hal tersebut dijelaskan Abdul Fickar dalam video yang diunggah di kanal YouTube Kompas TV, Minggu (17/11/2019).
Perkara pidana berfokus untuk mengadili perbuatan, bukan terhadap aset yang disita.
Abdul Fickar menjelaskan siapa yang menjadi terdakwa dalam kasus First Travel ini.
Menurut penuturan Abdul Fickar, yang menjadi terdakwa dalam kasus tersebut adalah sepasang suami istri, Andika Surachman dan istrinya, Anniesa Hasibuan.
Korporasinya atau badan usaha tidak menjadi subjek hukum pidana dalam kasus First Travel.
Sehingga seharusnya aset yang telah disita dikembalikan kembali ke pada korporasi.
Karena menurut penjelasan Abdul Fickar, korporasi dianggap belum bersalah.
Berbeda kondisi ketika korporasi First Travel juga menjadi terdakwa atau subjek hukum, maka sah secara hukum jika barang bukti tersebut disita untuk negara.
Abdul Fickar juga menjelaskan harus terdapat ketentuan dalam perjanjian yg harus dikembalikan kepada yang berhak.
"Siapa yang jadi terdakwa dalam perkara pidana ini, perkara pidana itu kan yurisdiksinya mengadili perbuatan.
Yang jadi terdakwa adalah direkturnya, suami istri, andika dan anisa," terang Abdul Fickar.
"Tapi korporasinya kan tidak jadi terdakwa, korporasinya tidak jadi subjek hukum pidana di situ."
"Seharusnya dikembalikannya ke pada korporasi. Karena korporasinya tidak bersalah, dianggap belum bersalah."
"Kecuali korporasi juga didudukan sebagai terdakwa, maka ada legitimasi barang bukti itu disita untuk negara."
"Itupun harus ada klausuldik dikembalikan kepada yang berhak. Mustinya seperti itu."
Abdul Fickar memberikan contoh kasus yang telah terjadi di Makassar, mirip dengan kasus First Travel.
Ia menjelaskan kasus tersebut menggunakan cara dengan membuat bangkrut korporasi yang bermasalah, sehingga dapat dilakukan pembagian secara proporsional.
Namun menurut Abdul Fickar, kasus First Travel ini tidak dapat menggunakan cara tersebut.
Abdul Fickar justru memberikan saran untuk membuat gugatan baru.
Gugatan tersebut masuk ke dalam perkara perdata kepada korporasi dan negara.
Dalam gugatan baru tersebut tuntutannya adalah memberangkatkan umroh para jamaah yang sudah tertipu ke tanah suci atau membagi aset secara proporsional.
"Ada preseden sebenarnya, ini pernah terjadi juga di Makassar. Ada di Makassar seperti ini, mereka pakai mekanisme kepailitan," jelas Abdul Fickar.
"Korporasinya dipailitkan, kemudian dibagi secara proporsional. Saya tidak tahu sudah selesai atau belum."
"Tapi untuk keadilan, saya kira ini tidak bisa lagi dipailitkan gitu. Tapi bisa pakai gugatan perdata kepada korporasi dan kepada negara. Gugatan baru."
"Yang ujungnya adalah nanti tuntutannya kalau tidak berangkatkan umroh kalo ada kemampuan dari korporasi umpamanya bersama negara tapi bisa juga dibagi secara proporsional."
"Berapa setoran-setoran yang sudah disetorkan oleh masyarakat gitu."
Kasus First Travel mulai mencuat ke publik pada tahun 2017 silam.
Biro perjalanan umrah milik pasangan suami istri tersebut diduga melakukan penggelapan dan pencucian uang jamaah yang berjumlah hingga lebih dari Rp 905 miliar.
(Tribunnews.com/Febia Rosada Fitrianum)