Wasekjen MUI Sayangkan UU Tentang Umrah Baru Dibuat Setelah Terjadi Kasus First Travel
Wasekjen MUI, Tengku Zulkarnain menyayangkan Undang-Undang penyelanggaraan haji dan umrah dibuat setelah terjadi kasus First Travel.
Penulis: Nuryanti
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Tengku Zulkarnain menyayangkan Undang-Undang umrah dibuat setelah terjadi kasus First Travel.
Ia mengatakan, Kementerian Agama (Kemenag) selama ini belum mengatur urusan ibadah umrah dalam Undang-Undang (UU).
Sebelum ada kasus First Travel yang terjadi pada 2017, Kemenag hanya memiliki UU yang mengatur ibadah haji.
Sementara mengenai ibadah umrah hanya diatur dalam Peraturan Menteri (Permen).
"Kementerian Agama selama ini tidak di-back-up dengan undang-undang," ujarnya, Selasa (19/11/2019), dilansir dari YouTube Indonesia Lawyers Club.
"Undang-undang yang ada itu No 34 tahun 2009, itu hanya mengatur urusan haji, tidak mengatur urusan umrah," lanjutnya.
Menurutnya, saat terjadi kasus biro umrah seperti First Travel, Kemenag tidak mempunyai landasan hukum yang kuat untuk mengambil tindakan.
"Jadi umrah itu diatur oleh Permen Kementerian Agama, sehingga ketika terjadi seperti ini tidak kuat, tidak ada undang-undang sebagai landasan hukumnya," kata dia.
"Sekarang sudah diganti dengan yang baru yaitu Undang-Undang No 8 tahun 2019 tentang haji dan umrah," lanjutnya.
Ia menambahkan, UU ibadah umrah tersebut baru dibuat setelah kasus pencucian uang First Travel.
"Setelah terjadi First Travel baru dibuat Undang-Undangnya untuk mengatur umrah," ungkapnya.
"Ini tidak boleh terjadi, harusnya jauh-jauh hari sudah ada Undang-Undang haji dan umrah," tambahnya.
Tengku Zulkarnain mengatakan, jumlah jemaah umrah Indonesia lebih banyak dibanding jemaah haji tiap tahunnya.
"Lebih banyak jemaah umrah daripada jemaah haji, jemaah umrah bisa 10 juta orang per tahun, jemaah haji hanya 2 juta paling banyak 3 juta setahun," ujarnya.