Setara Institute Sebut Belum Ada Keterpaduan dari Setiap Menteri Jokowi dalam Atasi Radikalisme
SETARA Institute tidak melihat adanya keterpedauan dari setiap menteri baru jokowi dalam mengatasi radikalisme dan intoleransi di Indonesia.
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Isu radikalisme dan intoleransi menjadi perhatian pemerintah saat ini.
Terlebih dengan terjadi kasus bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan belum lama ini dan pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi tentang pakaian aparatur sipil negara (ASN).
Setara Institute memandang penting bagi pemerintah agar memotret agenda pemajuan toleransi dan penanganan radikalisme di daerah sebagai bagian dari pendekatan komprehensif dalam mengatasi isu radikalisme dan intoleransi.
"Pemerintahan baru periode kedua Presiden Joko Widodo menunjukkan concern yang tinggi terhadap isu penanganan radikalisme dan pemajuan toleransi," ujar Direktur Riset Setara Institute Halili, Minggu (24/11/2019).
Baca: Jokowi: Saya Pernah Jadi Rakyat Biasa, Betapa Sulitnya Urus Sertifikat Tanah
Halili mengatakan sejauh ini yang ditampilkan beberapa menteri baru di depan publik, khususnya Menteri Agama, Fachrul Razi, menunjukkan belum baiknya indikator dan perspektif pemerintah dalam agenda pemajuan toleransi dan penanganan radikalisme.
"Sejauh ini kami tidak melihat ada kepaduan, setiap menteri ingin jalan sendiri sendiri terutama Menag yang statementnya menimbulkan kegaduhan," ujar Halili.
Di sisi lain, pemajuan toleransi dan penanganan radikalisme harus didekati dengan menempatkan daerah sebagai lokus sekaligus aktor strategis.
Baca: Menteri Agama: Jadi Pemimpin Tidak Boleh Bodoh
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri merupakan stakeholders utama dalam hal ini.
"Agenda pemajuan toleransi dan penanganan radikalisme yang krusial bukanlah soal restriksi pemakaian cadar atau celana cingkrang," ujar Halili.
Halili mengatakan ada empat hal agenda prioritas yang paling mendesak untuk pemajuan toleransi dan penanganan radikalisme.
Pertama, bagaimana mempersempit ruang berbagai ekspresi intoleransi.
Baca: Kementerian Agama Sebut Ada Dua Pesantren yang Terindikasi Terpapar Radikalisme
Kedua, memperkuat regulasi dan jaminan atas kesetaraan hak dan akses bagi seluruh kelompok warga.
"Akses disini terutama kelompok minoritas," kata Halili
Ketiga, meningkatkan sejumlah aktor lokal dalam memajukan toleransi dan membangun harmoni serta kerukunan dalam kebhinekaan.
Baca: Fachrul Razi Sebut PNS Terpapar Paham Radikalisme Seperti Musuh dalam Selimut
Keempat, membangun basis sosial kemasyarakatan yang memiliki ketahanan (resilience).
"Hal ini untuk membentengi diri dari penyebaran narasi dan gerakan anti kebhinekaan, anti demokrasi dan anti negara Pancasila," ujarnya.