Titi Anggraini Ungkap Kekuasaan Otoriter Bermula dari Masa Jabatan Presiden yang Tak Dibatasi
Titi Anggraini mengatakan masa jabatan presiden yang tidak dibatasi akan menimbulkan kekuasaan yang otoriter, dan memunculkan pemimpin yang diktator.
Penulis: Nuryanti
Editor: Tiara Shelavie
"Kita kan masih asumsi-asumsi, oleh karena itu yang kita bangun adalah supaya dengan pelajaran banyak Indonesia dan negara lain, dimana negara yang dibuka dengan batasan terlalu fleksibel membuka penyimpangan, maka pembatasan periode diperlukan," jelas Titi.
Titi mengatakan, masa jabatan presiden dua periode dinilai lebih tepat untuk negara demokrasi seperti Indonesia.
"Dua periode adalah pilihan moderat, mayoritas negara-negara demokrasi memilih dua periode, bahkan ada yang dua periode nya kurang dari lima tahun, Amerika Serikat misalnya, Taiwan, Mongolia, semua empat tahun," jelasnya.
Sehingga menurutnya diperlukan perbaikan sistem dalam negara demokrasi, seperti memperbaiki peraturan mengenai presiden dan partai politik.
"Oleh karena itu, kita membenahi misalnya soal instrumen pemilu kita supaya lebih demokratis, bagaimana membenahi sistem presidensil kita sehingga check and balance semakin kuat, partai politik kita lebih demokratis, itu yang diperlukan," tambah Titi.
Senada dengan pendapat Titi Anggraini, Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Handi Risza mengatakan, pilihan membatasi masa jabatan dua periode adalah yang terbaik.
Dia menyampaikan membatasi dua periode menjadi pilihan terbaik karena belajar dari masa kepemimpinan presiden yang sebelumnya.
"Tentu kita belajar banyak dari masa kepresidenan sebelumnya, baik dari zaman orde lama, orde baru, dan pasca-reformasi, pilihan membatasi masa kepemimpinan presiden dua periode, itu sudah menjadi pilihan terbaik saat ini," ujar Handi.
Menurut Handi, diperlukan pembicaraan yang lama untuk mendiskusikan perubahan masa jabatan presiden tersebut.
"Kedepannya kita tidak tahu, tentu diperlukan diskusi yang berkembang dengan hal itu," kata dia.
Ia berharap, kepemimpinan Indonesia yang diwarnai kasus korupsi akan terulang kembali.
Handi berharap dengan adanya pembatasan masa jabatan presiden yang maksimal dua periode itu, badan legislatif dan seluruh masyarakat bisa mengawasi dan mencegah tindakan penyalahgunaan kekuasaan.
"Kita tidak ingin mengulang kesalahan-kesalahan masa lalu, ketika kekuasaan itu diberikan, terbuka lebar dan tidak ada kontrol yang kuat dari legislatif atau masyarakat, tentunya ada kecenderungan untuk manipulatif atau corrupt," jelas Handi.
Ia memberi contoh, ketika masa jabatan presiden sampai tiga periode, saat ada di periode kedua, presiden atau pendukungnya akan menyiapkan segala cara untuk mendukungnya terpilih kembali untuk periode ketiga.