Ray Rangkuti Kritisi Pemberian Grasi Terpidana Korupsi oleh Presiden Jokowi
Ray menyikapi presiden yang menerbitkan grasi terhadap terpidana korupsi. Alasan yang menurutnya sederhana.
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti mengaku miris atas sikap Presiden, komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Setelah menolak menerbitkan Perppu KPK, kini Ray menyikapi presiden yang menerbitkan grasi terhadap terpidana korupsi. Alasan yang menurutnya sederhana.
"Karena pertimbangan Mahkamah Agung (MA), dan kemanusiaan. Alasan pertama, jelas bukan argumen. Karena memang hal itu adalah prosedur yang harus ditempuh jika presiden hendak menerbitkan grasi, terhadap siapapun," kata Ray, Kamis (28/11/2019).
Baca: Jokowi: Kalau Setiap Hari Keluarkan Grasi Silakan Dikomentari
"Oleh karena itu, penekanan presiden soal adanya pertimbangan MA itu sekedar mengalihkan beban tanggungjawab dirinya atas putusan yang dibuatnya sendiri. Tentu perlu menguji, apakah semua pertimbangan MA yang mengabulkan permohonan grasi terpidana dikabulkan atau justru ditolak oleh Presiden," kata Ray.
Dan dengan begitu, lanjut Ray bisa melihat mengapa grasi terhadap terpidana korupsi ini diberikan, sementara kepada yang lain misalnya tidak dikabulkan presiden. Adapun soal kemanusiaan, tentu dapat dipertimbangkan.
Baca: Stafsus Jokowi Bungkam soal Grasi Koruptor, Gerindra: Piye, Digaji tapi Kok Enggak Bantu Presiden?
Masalahnya adalah, kata Ray lagi apakah semata hanya soal sakitnya yang jadi pertimbangan, bagaimana dengan jenis kejahatan yang dilakukan seorang terpidana. Apakah kejahatan korupsi sesuatu yang bisa dimaafkan.
"Di sinilah sikap presiden diuji. Apalagi sikap ini misalnya dikaitkan dengan kemungkinan napi lain yang juga mengajukan grasi atas dasar pertimbangan kemanusiaan. Sebut saja soal aktivis di berbagai tempat yang dipenjara, atau kejahatan lain yang sama sekali tidak berbahaya pada negara," kata Ray.
Baca: Reaksi ICW hingga KPK soal Jokowi Beri Grasi ke Annas Maamun, Beri Kecaman hingga Sebut Tak Logis
"Dalam konteks inilah grasi ini jadi layak dikritik. Presiden seperti ingin memperlihatkan sisi kemanusiaannya dengan memberi grasi terhadap tahanan kasus korupsi, tapi saat yang sama, seperti abai pada nasib tahanan lain yang dipenjara semata karena memperjuangkan hak mereka sebagai warga negara," lanjutnya lagi.
"Yang bisa jadi mereka dipenjara karena aktivitas pembelaan mereka pada hak-hak mereka sebagai warga," imbuhnya.
Faktor kemanusiaan, Ray menegaskan kembali tak melulu pertimbangannya adalah kesehatan, tapi juga soal bobot kejahatannya. Efeknya bagi sistem dan peradaban bangsa, nilai moral dari grasi itu sendiri, unsur keadilan atas grasinya. Termasuk, kata Ray lagi di dalamnya mencegah yang tak patut dipidana mendekam dalam tahanan.
Baca: Jokowi Korting Hukuman Koruptor Annas Maamun, Juru Bicara sampai Staf Khusus Presiden Bungkam
Dalam perspektif inilah menurutnya pemberian grasi terhadap tahanan kasus korupsi itu jadi tidak tepat, dan sekaligus memperlihatkan makin lemahnya sikap dan komitmen presiden pada pemberantasan korupsi.
"Dan dalam kondisi seperti ini, tak terbayangkan jika presiden ditambah masa priodenya menjadi tiga kali, dan kelak mereka hanya menjalankan amanah sesuai GBHN. Tak terbayang seperti apa rasanya hidup di tengah-tengah situasi seperti itu. Miris, sungguh miris," kata Ray.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden mengenai grasi kepada Annas, 25 Oktober 2019 lalu. Hukuman mantan Gubernur Riau ini, dipangkas dari 7 tahun menjadi 6 tahun. Annas mengajukan grasi dengan alasan usia yang sudah lanjut serta faktor kesehatan.