Dari Tumpang Tindih HGU Perkebunan Kelapa Sawit Ungkap Korupsi Gratifikasi Rp22 M di BPN
KPK menegaskan banyak izin hak guna usaha (HGU) perkebunan tumpang-tindih yang akhirnya memicu korupsi di tubuh Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan banyak izin hak guna usaha (HGU) perkebunan tumpang-tindih yang akhirnya memicu korupsi di tubuh Badan Pertanahan Nasional (BPN)
"Potensi korupsi di BPN salah satunya pemberian izin, termasuk izin-izin HGU banyak tumpang-tindih termasuk untuk perkebunan kelapa sawit," ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (29/11/2019) malam.
KPK mengumumkan penetapan tersangka Kepala Kantor Wilayah BPN Kalimantan Barat (2012-2016) dan Jawa Timur (2016-2018) Gusmin Tuarita dan Kepala bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah kantor BPN Kalimantan Barat Siswidodo dalam perkara dugaan tindak pidana penerimaan gratifikasi senilai Rp22,23 miliar.
Penerimaan gratifikasi itu diduga berasal dari perusahaan-perusahaan yang mengurus HGU perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.
Baca: Sebelum Jadi Tersangka Gratifikasi Rp22 M, Pejabat BPN Gusmin Tuarita Mangkir dari Pemeriksaan KPK
Baca: Fadjroel Rachman Pastikan Presiden Jokowi Tidak Akan Terbitkan Perppu KPK
Rekomendasi KPK ke kementerian terlibat, seperti BPN, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, kata Syarif, agar diupayakan izin-izin dan status kawasan jelas untuk umum, khusus untuk agraria, HGU-HGU dibuat transparan agar tidak ada tumpang-tindih izin khususnya perkebunan-perkebunan dengan kawasan hutan.
Izin yang tumpang-tindih, menurut dia, bukan hanya memicu korupsi, melainkan juga pengemplangan pajak.
"Perkebunan di kawasan hutan apakah perkebunan itu ada HGU-nya atau tidak? Kalau beroperasi apakah membayar pajak atau tidak? HGU yang jelas akan melindungi para pengusaha dan pada saat yang sama melindungi kepentingan negara karena jelas izinnya dan melindungi masyarakat secara keseluruhan," kata Syarif.
Dalam perkara gratifikasi tersebut, sebelum memberikan izin HGU, Gusmin diduga menerima sejumlah uang dari para pemohon hak atas tanah, termasuk pemohon HGU, baik secara langsung dari pemohon hak atas tanah maupun melalui tersangka Siswidodo selama periode 2013-2018.
Dalam proses tersebut, tersangka Siswidodo diduga memberikan uang secara tunai kepada tersangka Gusmin di kantor ataupun di rumah dinas.
Atas penerimaan uang tersebut, tersangka Gusmin telah menyetorkan sendiri maupun melalui orang lain sejumlah uang tunai dengan total sebesar Rp22,23 miliar.
Uang tersebut disetorkan ke beberapa rekening miliknya pribadi, rekening milik istrinya, dan rekening milik anak-anak Gusmin.
Selain itu, uang tunai yang diterima oleh Siswidodo dari pihak pemohon hak atas tanah dikumpulkan ke bawahannya, kemudian digunakan sebagai uang operasional tidak resmi.
Sebagian dari uang digunakan untuk membayarkan honor tanpa kuitansi, seremoni kegiatan kantor, rekreasi pegawai ke sejumlah tempat di Nusa Tenggara Barat, Malang, dan Surabaya, serta peruntukan lain.
Siswidodo juga memiliki rekening yang menampung uang dari pemohon hak atas tanah tersebut dan digunakan untuk keperluan pribadi.
Baik Gusmin maupun Siswidodo tidak pernah melaporkan penerimaan uang-uang tersebut kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak tanggal uang-uang tersebut diterima.
"Kita berupaya di dalam penyidikan kami mendapatkan uang itu. Kalau dalam penyidikan ditemukan bukti-bukti lain, ada pencucian uang, tidak tertutup kemungkinan akan menerapkan tindak pidana pencucian uang," kata Syarif.