Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Jokowi Buka Peluang Hukuman Mati untuk Koruptor, Ini Tanggapan Wakil Ketua DPR

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan apa yang disampaikan Jokowi adalah peringatan keras bagi semua pihak untuk tak korupsi.

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Jokowi Buka Peluang Hukuman Mati untuk Koruptor, Ini Tanggapan Wakil Ketua DPR
Tribunnews.com/Chaerul Umam
Wakil Ketua DPR RI dari Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka peluang adanya hukuman mati bagi para koruptor di Indonesia saat menghadiri acara hari anti korupsi di SMKN 57 Jakarta, Senin (9/12/2019) kemarin.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan apa yang disampaikan Jokowi adalah peringatan keras bagi semua pihak untuk tak korupsi.

"Itu merupakan warning bagi kita semua bahwa kita ke depan, baik eksekutif maupun legislatif, untuk terus tata keuangannya tertib dan baik," ujar Dasco, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2019).

Baca: Jokowi Sampaikan Hasil Pertemuan Tertutup dengan Kapolri Selama 20 Menit di Istana

Ia pun mengapresiasi sikap dan pernyataan Jokowi tersebut yang menunjukkan tak akan pandang bulu dan secara tegas memberantas korupsi.

Meski demikian, politikus Gerindra tersebut menilai tentu perlu ada pertimbangan seberapa besar tingkat kesalahan yang dijatuhkan untuk hukuman mati bagi koruptor.

Dasco turut menyetujui pendapat mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut yang menegaskan hukuman mati dapat diterapkan bagi koruptor dana bencana alam.

"Kalau itu saya setuju, karena bencana alam adalah urgensi ketika bencana alam maka ada orang-orang yang susah dan menderita. Kalau kemudian bantuan atau pengelolaan anggaran itu dikorupsi itu kelewatan. Saya setuju kalau itu," tandasnya.

Berita Rekomendasi

Penjelasan Jokowi

Diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri pentas drama "Prestasi Tanpa Korupsi di SMK 57, Jakarta pada Senin (9/12/2019).

Dalam kunjungannya itu, Jokowi sempat ditanya oleh satu di antara siswa SMK 57 mengenai hukum di Indonesia yang tak tegas untuk koruptor.

Pertanyaan tersebut diajukan oleh Harley Hermansyah, seorang siswa kelas XII Jurusan Tata Boga.

"Kenapa negara kita dalam mengatasi koruptor tidak terlalu tegas, kenapa tidak berani seperti di negara maju misalnya dihukum mati," kata Harley yang dikutip dari Kompas.com.

Sesaat setelah pertanyaan tersebut terlontar, Harley mendapatkan apresiasi dari semua siswa yang hadir.

Sontak siswa-siswa tersebut langsung bertepuk tangan bersama.

Selain itu Presiden Jokowi juga ikut menanggapi dengan tertawa kecil saat mendengar pertanyaan tersebut.

Setelah itu, Jokowi langsung menjawabnya, ia menjelaskan jika undang-undang sekarang memang tidak mengatur hukuman mati.

"Ya kalau di undang-undangnya memang ada yang korupsi dihukum mati itu akan dilakukan. Tapi, di UU tidak ada yang korupsi dihukum mati," ujar Jokowi.

Jokowi lantas menjelaskan jika aturan hukuman mati untuk koruptor bisa saja diterapkan.

Syaratnya adalah jika memang ada kehendak yang kuat dari masyarakat.

Baca: Jokowi Beberkan Hasil Pertemuannya dengan Ahok Kemarin di Istana

Jokowi juga menambahkan penerapan hukuman mati dapat diatur sebagai satu di antara sanksi pemidanaan.

Sanksi tersebut ada dalam Undang-undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) melalui mekanisme revisi di DPR.

"Itu yang pertama kehendak masyarakat, kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU pidana tipikor, itu (bisa) dimasukkan," kata Jokowi.

Menurutnya, jika ada keinginan dan dorongan kuat dari masyarakat maka DPR akan mendengarnya.

Namun Jokowi juga menekankan keinginan hukuman mati untuk koruptor juga akan kembali pada komitmen sembilan fraksi di DPR.

"Sekali lagi juga termasuk yang ada di legislatif," lanjut Jokowi.

Sementara itu, Jokowi tak menjawab dengan tegas apakah dari pihak pemerintah akan menginisiasi hukuman tersebut.

Menurut Jokowi, hal itu kembali lagi pada kehendak masyarakat.

"Ya bisa saja (pemerintah inisiasi) kalau jadi kehendak masyarakat," tegasnya.

Grasi Jokowi untuk Koruptor

Sebelumnya diberitakan Tribunnews.com, Jokowi pernah memberikan grasi kepada koruptor pada November lalu.

Ia memberikan grasi kepada terpidana kasus korupsi alih fungsi lahan di Provinsi Riau, Annas Maamun.

Mantan Gubernur Riau tersebut diberikan grasi berupa pemotongan masa hukuman selama satu tahun.

Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Ade Kusmanto mengatakan, grasi tersebut ditetapkan pada 25 Oktober 2019 lalu.

"Memang benar, terpidana H Annas Maamun mendapat grasi dari Presiden berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23/G Tahun 2019 tentang Pemberian Grasi, tanggal ditetapkan tanggal 25 Oktober 2019," kata Ade dalam siaran pers, Selasa (26/11/2019).

Jika grasi itu diberikan, Annas hanya akan menjalani enam tahun masa hukumannya.

Seharusnya Annas divonis tujuh tahun kurungan penjara dalam upaya kasasinya.

Ade juga menuturkan jika Annas tetap diwajibkan membayar hukuman denda sebesar Rp 200 juta.

Annas yang kini ditahan di Lapas Sukamiskin Bandung akan diprediksi bebas pada Oktober 2020 tahun depan.

"Menurut data pada sistem database Pemasyarakatan, bebas awal 3 Oktober 2021, setelah mendapat grasi pengurangan hukuman selama satu tahun diperhitungkan akan bebas 3 Oktober 2020, dan denda telah dibayar tanggal 11 Juli 2016," ujar Ade.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan meski kecewa, ICW tak kaget dengan keputusan Presiden yang memberikan grasi.

Menurutnya pemerintah saat ini dinilai tidak mempunyai komitmen dalam memberantas tindak pidana korupsi.

"Sikap dari Presiden Joko Widodo ini mesti dimaklumi, karena sedari awal Presiden memang sama sekali tidak memiliki komitmen anti korupsi yang jelas."

"Jadi jika selama ini publik mendengar narasi anti korupsi yang diucapkan oleh Presiden itu hanya omong kosong belaka," kata Kurnia dalam keterangan tertulis, Selasa (26/11/2019) yang dilansir melalui Kompas.com.

Kurnia membeberkan, kesimpulan tersebut diambil bukan tanpa alasan.

Menurutnya, Presiden Jokowi dinilai telah berulang kali menunjukkan sikap yang bertentangan dengan semangat antikorupsi.

"Contoh, Presiden merestui calon Pimpinan KPK yang diduga mempunyai banyak persoalan, Presiden menyetujui revisi UU KPK, dan Presiden ingkar janji dalam mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PerPPU) untuk menyelamatkan KPK," kata dia.

Ia pun menegaskan, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang tidak dapat ditolerir dengan cara pemberian grasi yang mengurangi masa hukuman.

"Untuk itu Presiden harus segera mencabut Keputusan Presiden yang memberikan grasi kepada terpidana Annas Maamun," kata Kurnia.

Seperti diketahui, pada 2015, Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Bandung menjatuhkan vonis enam tahun penjara kepada Annas.

Ia terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus suap alih fungsi kawasan hutan senilai Rp 5 miliar di Riau.

Pada 2018, Annas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Namun, kasasi ditolak dan MA memperberat hukuman Annas menjadi tujuh tahun penjara.

(Tribunnews.com/Maliana)(Kompas.com/Ihsanuddin/Ardito Ramadhan)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas