Bambang Haryo: Kebijakan Susi Sengsarakan Nelayan, Menteri Edhy Jangan Ragu Cabut Larangan Lobster
Pelarangan itu, tutur Bambang Haryo, justru memicu penyelundupkan benur lobster sehingga merugikan negara.
Editor: Hasanudin Aco
“Lobster ukuran itu sudah mampu menyesuaikan diri dengan habitat di perairan Indonesia, seharusnya tidak ditangkap agar bisa berkembang biak secara alami,” ujarnya.
Kebijakan Disclaimer
Bambang Haryo menilai Permen KP No. 56/2016 tentang Larangan Penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan merupakan kebijakan disclaimer atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sebab pelarangan tiga komoditas yang berbeda menggunakan aturan teknis yang sama. Ini merugikan komoditas selain lobster karena batasan teknisnya berbeda.
“Tidak heran kebijakan menteri Susi menyebabkan KKP mendapat penilaian disclaimer audit BPK selama tiga tahun berturut-turut,” kata anggota Komisi V DPR RI periode 2014-2019.
Kebijakan lain yang dinilai keliru adalah Permen KP No. 2/2015 tentang Larangan Cantrang. Kebijakan ini juga membuat Indonesia kehilangan potensi ekonomi ratusan triliunan rupiah akibat produksi ikan rucah untuk pakan lobster dan ikan kerapu merosot tajam.
“Di Indonesia sudah ada pembudidaya yang hebat, seperti di Pandeglang dan Lombok Tengah, tetapi mereka kesulitan memperoleh pakan lobster yaitu ikan rucah yang selama ini ditangkap menggunakan cantrang,” ungkapnya.
Akibat pelarangan cantrang, Indonesia terpaksa impor ikan rucah dari Chile hingga 200 ribu ton per tahun, padahal ikan rucah di Indonesia melimpah.
Kelangkaan pakan ikan ini menyebabkan harganya melambung, sehingga banyak industri perikanan mati, tinggal kurang dari 50% dari sebelumnya sekitar 100 perusahaan.
Tidak hanya itu, ungkap Bambang Haryo, kebijakan menteri Susi melarang kapal ikan di atas 300 GT semakin menyengsarakan nelayan dan industri perikanan. Pelarangan kapal ini membuat nelayan tidak bisa mengeksplorasi Zona Ekonomi Eksklusif dan ikan laut dalam, yang potensinya triliunan rupiah.
Kondisi ini justru dimanfaatkan oleh kapal ikan asing, padahal Indonesia tempat melintas ikan laut dalam yang bermigrasi perairan Asia Timur/Pasifik ke Australia dan sebaliknya, seperti tuna sirip biru dan sirip kuning.
Kebijakan ini juga membuat kapal ukuran besar berpendingin tidak dapat beroperasi untuk menampung hasil tangkapan nelayan di tengah laut.
Akibatnya, hasil tangkapan nelayan membusuk dan tidak dapat diserap industri pengolahan ikan.
“Banyak ikan tangkapan nelayan dibuang ke luat karena membusuk, seperti terjadi di Lamongan dan Tuban, Jawa Timur.