Dukung Program Nadiem Makarim, Komisioner KPAI Ngaku Pernah Gugat Pemerintah Terkait UN
Komisioner KPAI bersama rekan aktris Sophia Latjuba pernah menggugat pemerintah terkait pelaksanaan Ujian Nasional (UN) pada 2005 silam.
Penulis: Indah Aprilin Cahyani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Komisioner KPAI, Retno Listyarti beserta pihaknya dan rekan aktris yang juga peduli pada isu pendidikan yakni Sophia Latjuba, pernah menggugat pemerintah terkait pelaksanaan Ujian Nasional (UN) pada 2005 silam.
Pernyataan tersebut diungkapkan dalam acara Mata Najwa yang ditayangkan di YouTube Najwa Shihab, Rabu (18/12/2019).
Retno Listyarti mengaku sempat betemu dengan 58 anak yang tidak lulus pada saat itu.
"Ketika itu ujian nasional sebagai penentu kelulusan 100 persen," ungkapnya.
Komisioner KPAI ini menuturkan, saat itu negara memberikan sebuah sarana untuk melaporkan kebijakan pemerintah yang dinilai tidak adil.
Sehingga dapat membuat gugatan ke pengadilan atas kebijakan tersebut.
Lebih lanjut, ia mengatakan sarana itu dinamakan citizen law suit.
"Saat itu negara kebetulan menyediakan satu sarana citizen law suit. Itu adalah satu kebijakan atau satu sarana yang kita bisa untuk kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak adil itu bisa kita gugat ke pengadilan," terang Retno.
Kemudian, Retno dan rekan artis Sophia Latjuba serta 58 siswa yang tidak lulus tersebut menggugat pemerintah terkait pelaksanaan UN.
Retno mengatakan pada pengadilan tingkat pertama, yakni di Pengadilan Negeri, pihaknya dinyatakan menang.
"Pada saat itu kami dengan cepat dan termasuk Mbak Sophia Latjuba juga, publik figur yang ikut mendukung dan 58 anak ini, kami menang," ujarnya.
Tidak sampai di situ, hingga tingkat banding dan di Mahkamah Agung (MA), pihak Retno dinyatakan menang dan pemerintah kalah pada 2009.
"Menang mulai dari level pengadilan tingkat pertama di PN, kemudian banding dan pemerintah kalah, dan ketika di Mahkamah Agung pun pada 2009 pemerintah juga kalah," imbuhnya.
Retno mengungkapkan, dari hasil putusan di MA tersebut menerangkan, UN dinyatakan tidak diperbolehkan untuk dilaksanakan kecuali pemerintah telah memenuhi kewajibannya.
Dalam putusan MA, pemerintah dituntut untuk memenuhi tiga kewajiban.
Yakni pemerataan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta pemenuhan akses sistem informasi yang sama di seluruh sekolah.
Namun Retno menuturkan hingga kini, pemerintah belum melakukan pemenuhan terhadap tiga kewajiban tersebut dan justru tetap melaksanakan UN.
Retno menceritakan pemerintah berdalih untuk mempersiapkan tiga kewajiban itu sembari berproses.
Sehingga sampai saat ini, kualitas pendidikan di Indonesia masih belum merata antara satu wilayah dengan wilayah yang lain.
Retno Listyarti menilai sistem UN sebagai bentuk penentuan kelulusan justru membuat para siswa semakin stres.
Selain itu, para siswa dituntut berbagai pihak untuk mendapatkan nilai yang bagus dan sesuai standar.
"Menurut saya, orang tua juga stres, biaya juga tinggi karena anak ikut bimbingan belajar (bimbel), dan anak-anak kita belajar menghafal," ujar Retno Listyarti.
Sehingga, Retno menyebut dari awal pendidikan, para siswa dituntut menjawab soal.
Komisioner KPAI ini mencontohkan cara berpikir Ki Hajar Dewantara yang patut ditiru.
"Menurut Ki Hajar Dewantara, kalau kita menggunakan cara berpikir Ki Hajar Dewantara, bersekolah itu adalah mengajarkan cara berpikir, bernalar bukan menghafal dan bukan menjawab soal," jelas Retno.
Diketahui, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim telah mengeluarkan empat kebijakan dalam program 'Merdeka Belajar'.
Nadiem Makarim membuat empat kebijakan, yang satu di antaranya adalah mengganti sistem UN menjadi assessment competency dan survei karakter.
(Tribunnews.com/Indah Aprilin Cahyani)