Bincang-bincang dengan Sibarani Sofian, Pemenang Sayembara Desain Ibu Kota Negara
Sibarani Sofian, urban designer asal Bogor, besama tim Urban+ menjadi pemenang dalam Sayembara Desain Ibu Kota Negara (IKN).
Penulis: Reza Deni
Editor: Hasanudin Aco
Kita akan berkolaborasi dengan dua pemenang yang lain. Kami juga harus mendengar berbagai masukan dari kementerian, mungkin bahkan ada kementerian yang lain yaitu Bapennas yang melakukan studi paralel.
Tidak menutup kemungkinan lokasinya masih harus dilihat lagi.
Pasti akan ada masukan dari berbagai pihak, tapi tentunya kita cari daerah yang aman kita cari daerah yang strategis dan implementasinya harus pragmatis.
Tim Anda kan pemenangnya, apakah nanti akan dilibatkan?
Saya belum berani bilang, karena jujur saya tidak tahu ya. Nanti akan dibriefing tanggal 27 Desember 2019. Harapannya tentu kami ingin sustainable, tapi ya saya belum mendengar langkah konkretnya seperti apa.
Sebelum mendesain IKN ini, Anda pernah menggarap proyek apa saja?
Ada beberapa pengalaman di luar negeri. Pertama itu River of Life di Kuala Lumpur. Jadi saya tidak hanya bikin kota ribuan hektare, tapi juga membuat sungai. Itu tahun 2009.
Konsepnya sama juga soal lingkungan.
Kedua, saya mengerjakan masterplan untuk CBD dari Singapore Marina Bay, itu salah satu masterplan yang memang Singapura sudang canggih ya, jadi mereka tidak hanya ingin bikin kota yang biasa begitu, tapi mau kota yang hemat energi.
Adakah proyek yang Anda kerjakan di Indonesia?
Kalau di Indonesia terus terang permintaan untuk memgerjakan hal-hal yang kompleks tidak terlalu banyak.
Salah satu yang kami lakukan adalah Ancol, Ecopark, yang dulunya tidak produktif sekarang bisa dipakai untuk publik.
Kemudian saya juga membantu masterplan BSD, termasuk sekitar Aeon.
Akhir-akhir ini saya mengerjakan pedestrian ya, di Blok M Melawai, itu pedestrian prototipe pertama di Jakarta.
Kemudian kami mengerjakan pedestrian di Lapangan Banteng, Masjid Istiqlal, Wahid Hasyim, dan Kyai Tapa.
Selama ikut kompetisi ini, biaya dari tim Anda sudah keluar berapa?
Enggak tahu ya karena itu di kantor saya, di kantor saya ada 30 orang, sekitar 10 orang bekerja di situ, dan enggak tahu mereka bagaimana, karena kan kalau di kantor arsitek itu kan bukan jam yanh dikunyah, tapi hasilnya, dan jam terbang juga.
Jadi billing rate yang sudah pengalaman 20 tahun berbeda dengan yang 5 tahun, karena satu jam bekerja, satunya lima jam.
Yang paling mahal adalah idenya, kalau kita lihat biaya absolutnya sih lebih rendah, tapi biaya intelektualnya yang lebih tinggi. Jadi arsitektur itu kan teknik dan seni, jadi sulit sekali mengukur berapa harganya dan biayanya.
Harapannya, kami terus bisa berkontribusi dan pemerintah mempunyai ketertarikan dan pintunya selalu terbuka, karena ini kan istilahnya orang di luar pemerintahan yang diperbolehkan memberikan konteibusi kepada pemerintahan.
Hadiah Rp 2 miliar itu akan Anda dan tim gunakan untuk apa saja?
Sebetulnya kami timnya besar, dan biaya bikin maket, dan animasi ya itu ada biaya dan tentunya kami harus membiayakan itu dalam hadiah ini.
Kami juga mengantisipasi karena ke depannya masih ada perbaikan ya.
Bukan sekali ini kami mengikuti kompetisi ini, teman-teman arsitek sudah tahu kalau kompetisi biasanya ada perbaikan-perbaikan. Jadi tidak kami foya-foyakan semuanyalah.
Kami juga kan bekerja keras, teman-teman begadang hampir setiap hari setiap malam sejak kami diumumkan sampai hari itu, setiap malam, kami mengerjakan animasi. Intinya kami akan bagi-bagi dulu, karena
ada beberapa orang di tim. Masing-masing berapa, kemudian dipotong biaya, sisanya masuk biaya kantor kami. (tribun network/reza deni/yat)