Jabatan Baru KSP, Pakar Pertanyakan Semangat Reformasi Birokrasi yang Dibangun Jokowi
Pos jabatan baru di lingkungan KSP lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 tahun 2019 bertentangan Semangat Reformasi Birokrasi Jokowi
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Wulan Kurnia Putri
TRIBUNNEWS.COM - Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk pos jabatan baru di lingkungan Kantor Staf Presiden (KSP) lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 tahun 2019 tentang KSP mendapat respons beragam dari lapisan masyarakat.
Termasuk komentar dari pakar Sosial Politik (Sospol) dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr Drajat Tri Kartono, M Si.
Drajat berpendapat keluarnya Perpres tersebut bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi yang pernah digaungkan oleh Presiden Jokowi beberapa waktu lalu
"Iya memang betul ada perbedaan dengan apa yang sudah di sampaikan Pak Jokowi kemarin yang ingin memangkas birokrasi yang ada," kata Drajat saat dihubungi Tribunnews.com lewat sabungan telepon, Jumat (27/12/2019).
Melihat kondisi tersebut, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNS ini mempertanyakan sistem birokrasi yang dibangun mantan Wali Kota Solo tersebut.
Drajat menjelaskan berdasarkan pembangunan sistem birokrasi terdapat dua teori yang berkembang.
Pertama dikenal dengan istilah downsizing, yang memiliki arti perampingan yang saat ini diterapkan dalam pemerintahan Amerika Serikat.
Baca: Manchester City Kalah dari Wolverhampton, Pep Guardiola: Sudah Tidak Mungkin Mengejar Liverpool
Sedangkan teori kedua rightsizing, bermakna birokrasi disesuaikan dengan kapasitas yang diperlukan. Tercatat seperti negara-negara di Benua Eropa dan China menerapkan teori ini.
"Indonesia yang mana? kalau menurut saya yang cocok ya itu rightsizing," ujar Drajat.
Menurutnya, perampingan birokrasi juga tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ada hitungan matematis yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah.
Dari hitungan tersebut akan diketahui pos-pos mana yang memperlukan suntikan tenaga tambahan, dan mana yang perlu dipangkas birokrasinya.
"Harus ada analisis jabatan dan beban kerja," lanjutnya.
Hak Presiden Jokowi