Pengamat Intelijen: Penyerang Novel Terpanggil Jiwa Korsa
Keduanya anggota Polri aktif dan merasa Novel telah mengkhianati institusi yang telah membesarkannya, Polri.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dendam dan kebencian yang dilontarkan pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan berinisial RM dinilai sebagai salah satu bentuk panggilan jiwa korsa.
Pengamat Intelijen dan Keamanan Stanislaus Riyanta berpendapat dua pelaku penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, RM dan RB melakukan aksi penyiraman air keras karena terpanggil jiwa korsa. Keduanya anggota Polri aktif dan merasa Novel telah mengkhianati institusi yang telah membesarkannya, Polri.
Apalagi, kata Stanislaus, pelaku sempat melontarkan pernyataan bahwa Novel adalah pengkhianat.
“Menurut saya yang nilainya paling kuat dijadikan bukti dan diproses adalah ucapan dari pelaku. Karena motif yang memiliki adalah pelaku,” kata Stanislaus kepada wartawan, Senin (30/12/2019).
Dia menambahkan, hubungan antara pernyataan pelaku tentang pengkhianatan Novel dengan aksi penyiraman air keras masih masuk akal.
“Jadi ketika dia seorang polisi, pelaku kan seorang polisi aktif, dia merasa institusnya terganggu atau merasa ada pengkhianatan dalam institusinya, jiwa korsanya memanggil dia melakukan itu, bisa saja,” kata Stanislaus.
RM dan RB menyerahkan diri, 2,5 tahun setelah peristiwa penyiram air keras terjadi April 2017. Polri sebelumnya telah membentuk tim pencari fakta kasus penyiraman air keras Novel. Tim menemukan penyiraman air keras diduga terkait sejumlah kasus. Satu diantaranya kasus penembakan pelaku pencurian sarang burung walet ketika Novel masih menjadi anggota Polri. Novel kemudian melepaskan keanggotaan Polri dan memilih masuk sebagai penyidik KPK.
Namun, kata Stanislaus, pernyataan RM dan RB harus diuji penyidik. “Dibuktikan apakah benar motifnya itu,” katanya.
Menurut Stanislaus, semua pihak harus menunggu hasil penyidikan. Apabila ada berbagai pihak yang memiliki bukti akurat di luar itu sebaiknya diserahkan kepada penyidik.
“Jangan diumbar di media karena nanti mengganggu penyidikan. Serahkan kepada penyidik. Saya rasa Polri akan terbantu dalam menyelesaikan masalah Karena Inikan beban berat bagi polisi,” katanya.
Stanislaus menegaskan, sementara ini karena memang orang yang mempunyai motif itu adalah pelaku. Ketika seorang pelaku menyatakan ada pengkhianatan maka, langkah berikutnya adalah menguji pernyataan itu.
“Diuji motif itu. Apakah benar motif seperti yang dia sampaikan, apakah bohong, nah itu diuji. Bagaimana mengujinya, penyidik itu punya teknik,” katanya.
Selain itu, polisi juga bisa menyelidiki rekaman percakapan pelaku atau komunikasi dengan orang yang diduga memerintahkan para pelaku, jika itu ada.
“Kalau dia (pelaku) bersih dari intervensi pihak-pihak lain. Itu berarti bisa diduga motif (pengkhianatan) itu benar,” katanya
Kata dia, saat ini, polisi harus mendalami pelaku. Kalau statement TPF atau tim penasihat hukum Novel yang meragukan polisi, menurut Stanislaus, merupakan pernyataan-pernyataan yang tidak bisa dijadikan alat bukti dan tidak bisa masuk ke dalam BAP yang kemudian diajukan ke dalam persidangan.
“Yang bisa kan dari pengakuan tersangka dan bukti-bukti,” kata dia.