Tambah Jabatan Wakil Kepala Staf Kepresidenan, Jokowi Jalankan Politik Akomodasi? Ini Kata Pengamat
Analis Politik Pangi Syarwi Chaniago menilai kebijakan penambahan posisi Wakil Kepala Staf Kepresidenan merupakan politik akomodatif presiden.
Penulis: Widyadewi Metta Adya Irani
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menambah jabatan baru di lingkaran kepresidenan untuk Wakil Kepala Staf Kepresidenan.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2019 Tentang Kantor Staf Presiden, yang telah ditandatangani presiden pada 18 Desember 2019.
Menurut rilis Sekretariat Kepresidenan Republik Indonesia, Perpres ini mengatur bahwa Wakil Kepala Staf Kepresidenan mempunyai tugas membantu Kepala Staf Kepresidenan dalam memimpin pelaksanaan tugas Kantor Staf Presiden.
Sementara itu, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menerangkan, tugas Wakil Kepala Staf Kepresidenan akan berfokus pada delivery assurance.
Dilansir dari Kompas.com, yang dimaksud dengan Delivery assurance yakni tugas untuk memastikan program Jokowi di setiap kementerian dan lembaga tersampaikan kepada masyarakat.
"Pak Moeldoko, berdasarkan pembicaraan kami, beliau mengatakan, bahwa sebagai Kepala Staf Kepresidenan, beliau akan berfokus kepada kebijakan atau policy," kata Fadjroel dalam wawancaranya yang ditayangkan Kompas TV.
"Sementara Wakil Kepala Staf Kepresidenan fokus delivery assurance," sambungnya.
Analis Politik Pangi Syarwi Chaniago menilai penambahan posisi Wakil Kepala Kepresidenan membuat istana semakin gemuk.
Di sisi lain, Pangi juga menilai penambahan jabatan baru tersebut merupakan bentuk politik akomodatif presiden.
"Betapa obesitas pemerintahan Jokowi 2019-2024, lebih gemuk dari periode pertama," tutur Pangi dalam keterangan tertulisnya pada Tribunnews.com, Selasa (31/12/2019).
"Mulai dari jabatan staf khusus, staf khusus milenial sebanyak 7 orang, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sebanyak 8 orang, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIB) sebanyak 8 orang, Wakil Menteri sebanyak 12 orang dan lain-lain," sambungnya.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting itu menyampaikan, penambahan jabatan baru di lingkaran Presiden harus mempunyai rasionalitas yang kuat.
"Jika tidak maka presiden akan distempel inkonsisten," kata Pangi.
Menurut Pangi, jika benar Jokowi menjalankan politik akomodasi artinya Presiden sedang dalam posisi yang lemah.