Romahurmuziy: Tuntutan Jaksa KPK Hasil Copy Paste
Terdakwa Romahurmuziy menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan hasil salinan dari surat dakwaan.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Adi Suhendi
Romahurmuziy dituntut pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan. Selain itu, JPU pada KPK juga menuntut hak politik mantan anggota DPR RI itu dicabut selama 5 tahun.
Pertimbangan jaksa tuntut cabut hak politik Romahurmuziy
Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut terdakwa Romahurmuziy hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama 5 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.
JPU pada KPK menuntut pidana pokok berupa pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan dan harus memberikan uang pengganti senilai Rp 46,4 Juta.
Upaya pencabutan hak politik dilakukan karena Romahurmuziy memanfaatkan posisi sebagai seorang anggota DPR sekaligus sebagai Ketua Umum partai politik, yaitu PPP yang bisa mempengaruhi kader partai yang menduduki jabatan menteri.
Baca: Korupsi Jual-Beli Jabatan, Mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy Dituntut 4 Tahun Penjara
Dalam hal ini, Romahurmuziy mengintervensi Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama periode 2014-2019, untuk menentukan orang-orang yang akan menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama di seluruh Indonesia.
"Terdakwa karena pengaruhnya tersebut, mengintervensi proses pengangkatan pejabat untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri maupun kelompoknya," ujar Wawan Yunarwanto, JPU pada KPK saat membacakan tuntutan di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (6/1/2020).
Baca: KPK Bakal Dalami Aliran Uang Rp 700 Juta Kepada Rano Karno dalam Korupsi Wawan
JPU pada KPK menguraikan pemberian senilai Rp 255 Juta dari Haris Hasanuddin dan Rp 91,4 Juta dari Muafaq Wirahadi untuk menempati jabatan strategis sebagai Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur dan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten Gresik, tidak dapat dilepaskan dari kedudukan terdakwa sebagai ketua PPP dan menteri agama, Lukman Hakim adalah kader PPP.
Karena itu, kata JPU pada KPK dapat disimpulkan terdakwa telah mempergunakan wewenang yang ada padanya karena jabatannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi, keluarga atau kelompoknya.
"Dengan kata lain, terdakwa menggunakan pengaruh politik untuk melakukan perbuatan sebagaimana diuraikan. Terdakwa mengatakan tidak pernah mengintervensi Menag maupun Sekjen Kemenag tidak sesuai dengan (keterangan,-red) saksi-saksi lain," kata dia.
Baca: Senin ini, Jaksa KPK Bacakan Tuntutan untuk Romahurmuziy
Berdasarkan fakta persidangan yang dibacakan JPU pada KPK, meskipun terdakwa sebagai anggota DPR tidak memiliki kewenangan menentukan jabatan di Kemenag, tetapi berdasarkan keterangan saksi-saksi di persidangan, terdakwa selalu memafsilitasi orang-orang yang ingin jabatan di Kemenag.
"Pidana tambahan untuk terdakwa menggunakan pengaruh politiknya dapat disimpulkan terdakwa menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya maka perlu untuk mencabut hak terdakwa untuk dipilih," kata JPU pada KPK.
Baca: KPK Periksa 2 Saksi untuk Kasus Eks Sekretaris MA Nurhadi
Untuk menghindari negara ini dikelola oleh orang-orang yang menggunakan jabatan atau kedudukannya untuk kepentingan pribadi, keluarga, kolega maupun kelompoknya serta melindungi publik atau masyarakat dari fakta, informasi, persepsi yang salah tentang calon pemimpin yang akan dipilihnya maka perlu kiranya mencabut hak terdakwa untuk dipilih atau menduduki dalam jabatan publik.
Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan hukum pidana yaitu menciptakan efek jera bagi pelaku kejahatan dan orang lain yang akan melakukan kejahatan, sehingga fungsi hukum sebagai a tool of social engineering dapat terwujud.