Firli Bahuri Sebut Organisasi dan Tata Kerja KPK Masih dalam Tahap Pembahasan
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengatakan pihaknya masih membahas organisasi tata kerja KPK.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengatakan pihaknya masih membahas organisasi tata kerja KPK.
Hal tersebut karena Peraturan Presiden terkait organisasi Tata Kerja KPK belum terbit hingga saat ini.
"Belum ada Perpres tentang organisasi tata kerja KPK. Itu masih dalam tahap pembahasan. Jadi saya tidak tahu juga kenapa itu beredar. Tapi yang pasti, itu belum ada izin prakarsa dari presiden," kata Firli Bahuri di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (7/1/2020).
Baca: Ini Agenda Penanganan Korupsi yang Akan Dikerjakan Pimpinan Baru KPK
Meski begitu, ia membenarkan bahwa KPK diberi kewenangan untuk mengatur tentang organisasi dan tata cara kerja KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK.
Namun demikian, lagi-lagi ia menegaskan hal tersebut masih dalam pembahasan.
"Dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 dan atas perubahan Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 di dalam pasal 24, KPK memang diberikan kewenangan untuk mengatur organisasi dan tata cara kerja KPK, ini masih dibahas," kata Firli.
Diberitakan sebelumnya, Pemerintah berencana menerbitkan tiga peraturan presiden (perpres) terkait Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca: KPK: Jiwasraya Sudah Ditangani Kejaksaan, Kami Tidak Bicara Itu
Tiga Perpres tersebut akan mengatur soal Dewan Pengawas, organisasi KPK, dan perubahan status kepegawaian dari karyawan KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sejumlah kritik pun datang terkait rencana terbitnya tiga Pepres tersebut.
Transparency International Indonesia (TII), misalnya, menyoroti salah satu pasal dalam draf perpres tentang organisasi dan tata kerja pimpinan dan organ pelaksana pimpinan KPK.
Perpres itu merupakan turunan dari UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baca: Pengacara Nilai Tuntutan untuk Romahurmuziy Ambigu
Dalam draf Perpes khusunya pada Pasal 1 Bab 1 menyatakan bahwa pimpinan KPK merupakan pejabat negara setingkat menteri yang bertangggung jawab kepada presiden sebagai kepala negara.
"Alih-alih memenuhi harapan publik untuk menguatkan KPK dengan mengeluarkan Perppu (Peraturan Pengganti Undang-Undang), saat ini justru presiden malah berencana mengeluarkan Perpres yang menjadikan KPK di bawah presiden dan setara kementerian," kata aktivis TII Wawan Suyatmiko kepada wartawan, Selasa (31/12/2019).
Menurut Wawan, menempatkan KPK setara dengan kementerian dan bertanggung jawab kepada presiden secara langsung justru menjauhi semangat pembentukan KPK sejak awal.
Ia menilai hal itu justru rawan dengan konflik kepentingan.
Hal itu juga dianggap tak sesuai dengan mandat United Nations Convention against Corruption (UNCAC)/Konvensi PBB Antikorupsi, The Jakarta Principles, dan Colombo Commentary.
Bahkan, jadi sebuah kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi.
Apalagi, pasal 1 dalam draf perpres tersebut justru terkesan kalau presiden mau menempatkan KPK di bawah kendalinya.
Padahal, dalam UUD 1945, kedudukan presiden sebagai kepala negara terbatas, sementara selebihnya sebagai kepala pemerintahan.
Wawan pun meragukan kalau pemberantasan korupsi akan berjalan maksimal, apalagi saat ini KPK justru terus dilemahkan.
Ia pun menyarankan agar saat ini publik mulai mengalihkan harapan pemberantasan korupsi kepada Presiden Joko Widodo menjadi sebuah gerakan kritik.
"Publik juga harus selalu mengawasi kinerja Presiden Jokowi dan KPK di bawah pimpinan barunya, Firli Bahuri, dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Wawan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.